Maafkanlah Saudaramu
Mengucapkan kata maaf terkadang Nampak hina bagi diri kita
dihadapan saudara yang lain. Seakan-akan kita yang salah, dan kita yang kalah.
Tangan ini serasa enggan dan berat untuk berjabat menyentuh tangan
saudaranya.
Lisan tanpa tulang pun terasa berat untuk mengucapkan kata kata maaf.
Mulai lah perasaan hati berkata “ah.. malu minta maaf.. toh
juga dia yang salah” dengan perkataan ini mulailah ia menghajr kawannya,
memboikotnya, sampai kawannya datang dan mau meminta maaf kepadanya.
Iya, mungkin amarahmu lagi meledak, bagai bak gunung merapi
yang meletus. Kemarahan anda sedang berkobar
dikepala bagai air yang mendidih. Belum bisa dingin dan masih dalam
kegelisahan. Maka wahai saudaraku.. Ishbir. Sabarlah.. Sesungguhnya Allah bersama hamba-hambaNya yang bersabar. Dan Allah pun memuji hambaNya yang dapat
menahan amarahnya.
Allah berfirman:
والكاظمين الغيظ والعافين عن الناس والله يحب المحسنين
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan
manusia, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”[1]
Dan Rasulullah bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيْدُ باِلصُّرْعَةِ إِنَّمَا
الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukan yang banyak mengalahkan orang dengan
kekuatannya. Orang yang kuat hanyalah yang mampu menahan dirinya di saat
marah.”[2]
Lihatlah bagaimana Allah menggabungkan dua sifat yang mulia
ini, dua sifat yang baik yaitu, “Menahan amarahnya” dan “memaafkan kesalahan
orang lain”. Jika Allah telah memuji dua sifat yang mulia ini, akan ada
kehinaan setelahnya? Dengan kita menahan marah berarti kita lemah? Dengan kita
memaafkan kesalahan orang lain berarti kita kalah? Hanya pandangan manusia saja
yang tidak sampai kepada puncaknya. Hanya pandangan manusia saja yang salah
dalam memandang. Ia lupa, bahwasanya Allah telah mengatakan itu adalah hal yang
mulia, dan sifat yang agung.
Dan keutamaan dari saling memaafkan sangat banyak sekali. Insya
Allah akan kita rinci sedikit disini:
1. Mendatangkan kecintaan
Ibnu Katsir -rahimahullah- menerangkan: “Bila kamu berbuat
baik kepada orang yang berbuat jelek kepadamu maka kebaikan ini akan menggiring
orang yang berlaku jahat tadi merapat denganmu, mencintaimu, dan condong
kepadamu sehingga dia (akhirnya) menjadi temanmu yang dekat. Ibnu ‘Abbas c
mengatakan: ‘Allah l memerintahkan orang beriman untuk bersabar di kala marah,
bermurah hati ketika diremehkan, dan memaafkan di saat diperlakukan jelek. Bila
mereka melakukan ini maka Allah l menjaga mereka dari (tipu daya) setan dan
musuh pun tunduk kepadanya sehingga menjadi teman yang dekat’.”[4]
2. Mendapat pembelaan dari Allah
Al-Imam Muslim –rohimahullah- meriwayatkan hadits Abu
Huraira-rhodiyallahu ‘anhu- bahwa ada seorang laki-laki berkata: ”Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku punya kerabat. Aku berusaha menyambungnya namun
mereka memutuskan hubungan denganku. Aku berbuat kebaikan kepada mereka namun
mereka berbuat jelek. Aku bersabar dari mereka namun mereka berbuat kebodohan
terhadapku.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا
تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ
عَلَى ذَلِكَ
“Jika benar yang kamu ucapkan maka seolah-olah kamu
menebarkan abu panas kepada mereka. Dan kamu senantiasa mendapat penolong dari
Allah l atas mereka selama kamu di atas hal itu.”[5]
3. Memperoleh ampunan dan kecintaan dari Allah
Allah berfirman:
“Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni
(mereka) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.”[6]
Adalah Abu Bakr dahulu biasa memberikan nafkah kepada
orang-orang yang tidak mampu, di antaranya Misthah bin Utsatsah. Dia termasuk
famili Abu Bakr dan muhajirin. Di saat tersebar berita dusta seputar ‘Aisyah
binti Abi Bakr istri Nabi shallahu alaihi wa sallam, Misthah termasuk salah
seorang yang menyebarkannya. Kemudian Allah menurunkan ayat menjelaskan
kesucian ‘Aisyah dari tuduhan kekejian. Misthah pun dihukum dera dan Allah memberi taubat kepadanya. Setelah peristiwa
itu, Abu Bakr z bersumpah untuk memutuskan nafkah dan pemberian kepadanya. Maka
Allah menurunkan firman-Nya:
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan
kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan)
kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang
berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.
Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha pengampun
lagi Maha penyayang.”[7]
Abu Bakr mengatakan:
“Betul, demi Allah. Aku ingin agar Allah l mengampuniku.” Lantas Abu Bakr
kembali memberikan nafkah kepada Misthah. [8]
Nabi shallallahu alahi wa sallam bersabda:
“Sayangilah –makhluk– maka kamu akan disayangi Allah l, dan
berilah ampunan niscaya Allah mengampunimu.”[9]
Al-Munawi t berkata: “Allah l mencintai nama-nama-Nya dan
sifat-sifat-Nya yang di antaranya adalah (sifat) rahmah dan pemaaf. Allah l
juga mencintai makhluk-Nya yang memiliki sifat tersebut.”[10]
Adapun Allah mencintai orang yang memaafkan, karena memberi
maaf termasuk berbuat baik kepada manusia. Sedangkan Allah cinta kepada orang yang berbuat baik,
sebagaimana firman-Nya:
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang. Allah l menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”[11]
4. Mulia di sisi Allah maupun di sisi manusia
Suatu hal yang telah diketahui bahwa orang yang memaafkan
kesalahan orang lain, disamping tinggi kedudukannya di sisi Allah , ia juga
mulia di mata manusia. Demikian pula ia akan mendapat pembelaan dari orang lain
atas lawannya, dan tidak sedikit musuhnya berubah menjadi kawan. Nabi shallahu
alaihi wa sallam bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا
زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلَّا رَفَعَهُ
اللهُ
“Shadaqah –hakikatnya– tidaklah mengurangi harta, dan
tidaklah Allah l menambah seorang hamba karena memaafkan kecuali kemuliaan, dan
tiada seorang yang rendah hati (tawadhu’) karena Allah l melainkan diangkat
oleh Allah.”[12]
Kapan memaafkan itu terpuji?
Seseorang yang disakiti oleh orang lain dan bersabar atasnya
serta memaafkannya padahal dia mampu membalasnya maka sikap seperti ini sangat
terpuji. Nabi n bersabda (yang artinya): “Barangsiapa menahan amarahnya padahal
dia mampu untuk melakukan –pembalasan– maka Allah l akan memanggilnya di hari
kiamat di hadapan para makhluk sehingga memberikan pilihan kepadanya, bidadari
mana yang ia inginkan.”[13]
Demikian pula pemaafan terpuji bila kesalahan itu berkaitan
dengan hak pribadi dan tidak berkaitan dengan hak Allah l. ‘Aisyah x berkata:
“Tidaklah Rasulullah n membalas atau menghukum karena dirinya (disakiti)
sedikit pun, kecuali bila kehormatan Allah l dilukai. Maka beliau menghukum dengan
sebab itu karena Allah.”[14]
Oleh karena itu, tidaklah beliau disakiti pribadinya oleh
orang-orang Badui yang kaku perangainya, atau orang-orang yang lemah imannya,
atau bahkan dari musuhnya, kecuali beliau memaafkan. Ada orang yang menarik
baju Nabi n dengan keras hingga membekas pada pundaknya. Ada yang menuduh Nabi
n tidak adil dalam pembagian harta rampasan perang. Ada pula yang hendak
membunuh Nabi n namun gagal karena pedang terjatuh dari tangannya. Mereka dan
yang berbuat serupa dimaafkan oleh Nabi n. Ini semua selama bentuk menyakitinya
bukan melukai kehormatan Allah dan permusuhan terhadap syariat-Nya. Namun bila
menyentuh hak Allah l dan agamanya, beliau pun marah dan menghukum karena Allah
serta menjalankan kewajiban amar ma’ruf
nahi mungkar. Oleh karena itu, beliau melaksanakan cambuk terhadap orang yang
menuduh istri beliau yang suci berbuat zina. Ketika menaklukkan kota Makkah,
beliau memvonis mati terhadap sekelompok orang musyrik yang dahulu sangat
menyakiti Nabi karena mereka banyak melukai kehormatan Allah. (disarikan dari
Al-Adab An-Nabawi hal. 193 karya Muhammad Al-Khauli)
Kemudian, pemaafan dikatakan terpuji bila muncul darinya
akibat yang baik, karena ada pemaafan yang tidak menghasilkan perbaikan.
Misalnya, ada seorang yang terkenal jahat dan suka membuat kerusakan di mana
dia berbuat jahat kepada anda. Bila anda maafkan, dia akan terus berada di atas
kejahatannya. Dalam keadaan seperti ini, yang utama tidak memaafkan dan
menghukumnya sesuai kejahatannya sehingga dengan ini muncul kebaikan, yaitu
efek jera. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan: “Melakukan perbaikan adalah wajib,
sedangkan memaafkan adalah sunnah. Bila pemaafan mengakibatkan hilangnya
perbaikan berarti mendahulukan yang sunnah atas yang wajib. Tentunya syariat
ini tidak datang membawa hal yang seperti ini.” (lihat Makarimul Akhlaq karya
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 20)
Manfaat dari memaafkan diatas dijelaskan oleh ustadz Abdul mu’thi hafidzahullah
Nah, sekarang bagaimana jika anda malu untuk meminta maaf?
Saudaraku, Janganlah malu dalam hal yang ma’ruf (baik).
Sebuah perkataan sohabiyyat yang mulia –Ummu
Sulaim- pernah di lontarkan kepada nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam:
إن الله لا يستحيي من الحق
“Sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran”[15]
Jika Allah tidak malu, mengapa kita harus malu? Cobalah
untuk menguatkan tali persaudaraan kita. Kokohkan pondasi bangunan kita.
Eratkan jejer barisan kita. Semuanya itu hanyalah dengan menguatkan cinta kita
bersama. Jika ada kesalahan dari saudara kita maka maafkanlah. Dan jika anda
berseteru, coba lah untuk mendatanginya dan berbicara empat mata bersamanya. Walaupun
anda dalam keadaan yang benar dan tidak besalah.
Jika anda malu untuk berbicara empat mata dengannya, maka
usahakanlah untuk mengirim surat kepadanya dengan berbagai wasilah. Baik melalui jejaring social facebook,
twitter, email ataupun dengan SMS. Silahkan anda mencoba untuk menelusuri
jalan-jalan yang sekiranya itu dapat memperkuat tali persaudaraan kaum
muslimin.
Ingatlah Rasulullah bersabda:
مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم
مثل الجسد إذا اشتكى شيئا تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى
“Permisalan
antara mu’min dengan mu’min lainnya dalam masalah kecintaan, kesayangan, dan
kelembutan seperti satu tubuh. Jika satu bagian mengeluh maka goyah lah seluruh
anggota lainnya dengan sakit dan demam”[16]
Dan dari abu musa –radhiyallahu
‘anhu- Rasulullah bersabda:
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا ،
وشبك بين أصابعه
“Seorang mu’min
dengan meu’min lainnya seperti sebuah bangunan, satu anggota memperkuat anggota
lainnya, kemudian Rasululullah menyilang-nyilangkan antara jari-jari tangannya”[17]
Untuk terakhir kalinya, jika kawan anda membuat jiwa marah
dan emosi, maka saya paparkan beberapa kiat untuk menghilangkan rasa amarah dan
segera untuk memaafkan kesalahan kawan anda.
1-
Berlindung kepada Allah
dari godaan syaithon
2-
Diam, agar terhindar dari
ucapan kata-kata buruk yang sering terlontarkan tatkala amarah menjulang
3-
Duduk atau berbaring agar
rasa marah padam dan hilang sendirinya.
Nah, kalau sudah begini sangat mudah bagi anda untuk
memaafkan kesalahan saudara anda dan menasihatinya. Dan rasa dendampun akan terkubur
sedalam dalamnya.
Mudah-mudahan yang sedikit ini dapat bermanfaat untuk
penulis, pembaca, dan kaum muslimin seluruhnya.
Penulis: Muhammad Abdurrahman Al Amiry
Artikel: alamiry.net (Kajian Al Amiry)
Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di alamiry.net dengan menyertakan alamiry.net sebagai sumber artikel.
Ikuti status kami dengan menekan tombol like pada halaman FB Muhammad Abdurrahman Al Amiry , dan tombol follow pada akun Twitter @abdr_alamiry
Artikel: alamiry.net (Kajian Al Amiry)
Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di alamiry.net dengan menyertakan alamiry.net sebagai sumber artikel.
Ikuti status kami dengan menekan tombol like pada halaman FB Muhammad Abdurrahman Al Amiry , dan tombol follow pada akun Twitter @abdr_alamiry
[1]
Ali Imron: 134
[2]
HR. Al-Bukhari no. 6114
[3]
Fushshilat: 34-35
[4] Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azhim 4/109
[5] HR.
Muslim
[6] At-Taghabun:
14
[7] An-Nur:
22
[8] lihat
Shahih Al-Bukhari no. 4750 dan Tafsir Ibnu Katsir 3/286-287
[9] Shahih
Al-Adab Al-Mufrad no. 293
[10] Faidhul
Qadir 1/607
[11] Ali
‘Imran: 134
[12] HR.
Muslim dari Abu Hurairah
[13] Hadits
ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3394
[14] HR.
Al-Bukhari dan Muslim
[15]
HR Bukhari Muslim
[16]
HR Bukhari Muslim
[17]
HR Bukhari Muslim

0 komentar:
Posting Komentar