Perselisihan Jarh Wat Ta'dil Seperti Perselisihan Fiqh?!
Benar, yaitu dari sisi ijtihad penghukumannya !!. Bahkan seandainya ada yang menjawab ‘tidak benar’, saya tidak mengerti konstruksi logika jawabannya. Apakah penentuan Fulan tsiqah, Fulan dla’iif, atau Fulan hizbiy terdapat manthuuq (tekstual) dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah ?. Bukankah sudah menjadi pengetahuan umum bagi seorang penuntut ilmu bahwa para ulama kita telah berselisih pendapat tentang penghukuman seorang perawi dari sisi jarh dan ta’dil-nya ?. Berikut sedikit contoh yang bisa dibawakan :
1.
Dalam
hal vonis bid’ah :
Ibraahiim
bin Thahmaan bin Syu’bah Al-Khurasaaniy, Abu Sa’iid Al-Harawiy.
Ia seorang perawi tsiqah,
namun dituduh berpemahaman irjaa’ oleh para ulama seperti : Ibnu ‘Uyainah,
Ishaaq bin Rahawaih, Ahmad bin Hanbal, Shaalih bin Muhammad, dan yang lainnya.
Akan tetapi ulama lain menolaknya, misal Abush-Shalt. Abush-Shalt pernah meriwayatkan
dari Ibnu ‘Uyainah tentang ke-irjaa’-an Ibraahiim. Namun setelah itu ia
melakukan pembelaan bahwa irjaa’-nya bukanlah irjaa’-nya Murji’ah
yang jelek, akan tetapi irjaa’-nya adalah pengharapan bagi para pelaku
dosa besar agar mendapatkan ampunan.
Adapun Al-Haakim –
sebagaimana dibawakan Ibnu Hajar – mengatakan bahwa Ibraahiim telah rujuu’
dari paham irjaa’-nya [lihat : Taariikh Baghdaad 7/13-21 no.
3096, Tahdziibul-Kamaal 2/108-115. no. 186, dan Tahdziibut-Tahdziib
1/129-131 no. 231].
Melihat beberapa
perkataan ulama Adz-Dzahabiy rahimahullah menyimpulkan :
من
أئمة الإسلام و فيه إرجاء
“Termasuk di antara
imam-imam kaum muslimin, padanya terdapat paham irjaa’...” [Al-Kaasyif,
1/214 no. 148].
Ibnu Hajar rahimahullah
berbeda kesimpulan dengan mengatakan :
الحق
فيه أنه ثقة صحيح الحديث إذا روى عنه ثقة ، و لم يثبت غلوه فى الإرجاء و لا كان
داعية إليه بل ذكر الحاكم أنه رجع عنه و الله أعلم
“Yang benar tentangnya
bahwa ia seorang yang tsiqah, shahiihul-hadiits apabila yang meriwayatkan
darinya seorang yang tsiqah. Tidak benar tentang ghulluw-nya
dalam paham irjaa’, tidak pula ia sebagai penyeru paham tersebut.
Bahkan Al-Haakim menyebutkan ia telah rujuk darinya, wallaahu a’lam” [Tahdziibut-Tahdziib,
1/131].
2.
Dalam hal pujian dan celaan.
Syariik bin ‘Abdillah bin Abi Syariik An-Nakha’iy, Abu
‘Abdillah Al-Kuufiy Al-Qaadliy.
Ia telah diperselisihkan
para ulama. Ada yang memujinya, ada yang mencelanya, ada pula yang merincinya.
Di antara yang memujinya : Ibraahiim Al-Harbiy
berkata : “Tsiqah”. Ahmad berkata : “Seorang yang pandai, jujur, lagi
ahli hadits di sisi kami”. Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah”. ‘Iisaa bin
Yuunus As-Sabii’iy : “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih wara’ dalam
ilmunya dari Syariik”. Muhammad bin Yahyaa Adz-Dzuhliy berkata :
“Cerdas/pandai”. Wakii’ bin Al-Jarraah berkata : “Tidak ada penduduk Kuufah
yang lebih banyak periwayatan haditsnya daripada Syariik”. An-Nasaa’iy berkata
: “Tidak mengapa dengannya”. Muhammad bin ‘Abdillah Al-Makhramiy berkata :
“Syariik lebih mengetahui hadits penduduk Kuufah daripada Sufyaan Ats-Tsauriy”.
Di antara yang mencelanya : Ibraahiim bin Sa’iid
Al-Jauhariy berkata : “Ia keliru dalam 400 hadits”. Al-Juuzjaaniy berkata :
“Jelek hapalannya, mudlthatibul-hadiits”. Abu Ahmad Al-Haakim : “Tidak kokoh”. Ibnul-Qaththaan Al-Faasiy
berkata : “Mayshuur dengan tadliis, aku melihat dalam pokok haditsnya terdapat takhliith”.
Al-‘Uqailiy memasukkannya dalam Adl-Dlu’afaa’. Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan berkata : “Ia
senantiasa bercampur haditsnya”. Di lain tempat ia berkata : “Jangan
meriwayatkan hadits darinya”. Di lain tempat ia berkata : “Dla’iiful-hadiits”.
Ibnu Syaahiin berkata : “Perkataan dari Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan tentang
Syariik ini dibawa pada konsekuensi untuk meninggalkannya”. Muhammad bin
‘Abdillah Al-Makhramiy dalam riwayat lain berkata : “Haditsnya tidak ada
apa-apanya”. Abu Zur’ah berkata : “Banyak salahnya, shaahibul-wahm”.
At-Tirmidziy berkata : “Banyak kekeliruan dan keraguan”. Ad-Daaruquthniy
berkata : “Tidak kuat (laisa bil-qawiy)”. As-Saajiy berkata :
“Dinisbatkan pada paham tasyayyu’ yang melampaui batas”.
Di antara yang memuji dan
memasukkan celaan sekaligus : Ibnu ‘Adiy berkata : “Kebanyakan dari hadits-haditsnya adalah shahih dan
lurus. Adapun pengingkaran yang ada dalam haditsnya hanyalah disebabkan karena
jeleknya hapalannya”. Abul-Fat-h Al-Azdiy berkata : “Shaduuq, namun
miring dalam niat, ekstrim dalam madzhab (Syi’ah), banyak keraguan, dan goncang
haditsnya”. Ibnu Haatim berkata : “Jujur, namun mempunyai
kekeliruan-kekeliruan”. Abu Daawud berkata : “Tsiqah, banyak keliru
dalam hadits Al-A’masy”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah, ma’muun, dan banyak haditsnya. Namun ia banyak
melakukan kekeliruan”. Ya’quub bin Syaibah berkata : “Shaduuq, tsiqah, namun jelek hapalannya”.
Di antaranya, ada juga
ulama yang menjelaskan ‘illat keshahihan
dan/atau kelemahan riwayatnya : Ibnul-Qaththaan Al-Faasiy berkata
: “Shaduuq, dan ketika menjabat hakim, berubahlah hapalannya”. Al-‘Ijliy
berkata : “Tsiqah, hasanul-hadits. Barangsiapa yang mendengar haditsnya
di masa awal, maka haditsnya shahih”. Shaalih bin Muhammad Jazarah : “Jujur, namun
ketika memegang jabatan hakim, goncang hapalannya”. Ibnu Hibbaan : “Penyimakan mutaqaddimiin darinya yang mendengar riwayat darinya di negeri
Waasith, tidak terdapat padanya percampuran (takhliith), seperti Yaziid
bin Haaruun dan Ishaaq Al-Azraq. Dan penyimakan muta-akhkhiriin darinya di negeri Kuufah, padanya terdapat keraguan
yang amat banyak”. Ad-Daaruquthniy mengkritiknya bahwa ia lemah jika
bersendirian (tafarrud). Ibnu Ma’iin dan Ahmad bin Hanbal mengatakan ia
seorang yang shaduuq lagi tsiqah jika tidak ada penyelisihan. Jika ada penyelisihan,
maka riwayat selainnya lebih disukai.
[Lihat : Ats-Tsiqaat, 6/444, Mausu’ah
Aqwaal Al-Imaam Ad-Daaruquthniy, hal. 317 no. 1621, Mausu’ah Aqwaal
Al-Imaam Ahmad, 2/143 no. 1159, Tahdziibul-Kamaal 12/462-475 no. 2736,
dan Tahdziibut-Tahdziib 4/333-337 no. 587].
3. Dalam hal
pendustaan.
Muhammad bin Humaid bin Hayyaan, Abu
‘Abdillah Ar-Raaziy.
Ia
telah
dilemahkan oleh jumhur ulama. Bahkan sebagian di antara mereka ada yang
mendustakannya. Ishaaq bin
Manshuur berkata : “Aku bersaksi di hadapan Allah bahwa Muhammad bin Humaid dan
‘Ubaid bin Ishaaq Al-‘Aththaar adalah pendusta” [Taariikh Baghdaad,
2/263]. Shaalih bin Muhammad Al-Asadiy Al-Haafidh berkata : “Aku tidak melihat
seorang pun yang yang lebih banyak dustanya daripada dua orang, yaitu Sulaimaan
Asy-Syaadzakuuniy dan Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy…” [Taariikh Baghdaad,
2/262]. Ia telah didustakan oleh Abu Zur’ah Ar-Raaziy dan Ibnu Waarah [Al-Majruuhiin,
2/321 no. 1005 dan Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin oleh
Ibnul-Jauziy, 3/54 no. 2959]
Sebagian ulama
lain memujinya. Ahmad mengatakan bahwa Muhammad bin Humaid adalah orang yang
paling mengetahui hadits penduduk negeri Ray. Begitu juga Abu ‘Aliy
An-Naisaabuuriy mengatakan Ahmad memujinya. Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah, tidak mengapa dengannya”. Ja’far bin Abi ‘Utsmaan Ath-Thayaalisiy juga men-tautsiq-nya [lihat
selengkapnya : Tahdziibul-Kamaal 25/97-108 no. 5167 dan Tahdziibut-Tahdziib
9/127-131 no. 181].
Lalu,
apakah yang disimpulkan oleh ulama muta’akhkhiriin dari perkataan mutaqaddimiin
tentang Muhammad bin Humaid ?.
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata
:
الحافظ
،...... وثقه جماعة و الأولى تركه
“Seorang
haafidh, telah ditsiqahkan sekelompok ulama. Namun yang lebih utama
adalah meninggalkannya” [Al-Kaasyif, 2/166 no. 4810].
Ibnu
Hajar rahimahullah berkata :
حافظ
ضعيف ، و كان ابن معين حسن الرأى فيه
“Seorang
haafidh yang lemah. Ibnu Ma’iin mempunyai pandangan baik tentang dirinya”
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 839 no. 5871].
Asy-Syaikh
Al-Albaaniy rahimahullah menghukuminya dalam banyak tempat dikitabnya
yang kesemuanya cenderung pada kesimpulan dla’iif jiddan (sangat lemah)
[lihat : Mu’jamu Asamiyyir-Ruwaat, 3/592-595].
Perbedaan penghukuman para imam di atas atas diri
seseorang berdasarkan apa yang nampak pada mereka. Ada kalanya para ulama tidak
menerima jarh ulama lain karena ada fakta lain yang bertentangan dengan
hal tersebut. Begitu juga sebaliknya. Mereka semua berijtihad sesuai dengan
kapasitas keilmuan mereka. Ijtihad seorang ulama tidaklah mengikat bagi yang
lainnya. Oleh karena itu, wajar jika mereka berbeda pendapat dalam ijtihaad mereka.
Perbedaan ijtihad seperti inilah yang dikatakan seperti perbedaan ijtihaad
dalam masalah fiqh.
Al-Mundziriy rahimahullah berkata :
اختلاف
هؤلاء كاختلاف الفقهاء ، كل ذلك يقتضيه الإجتهاد ، فإن الحاكم إذا شهد عنده بجرح
شخص ، اجتهد في أن ذلك القدر مؤثر أم لا ، وكذلك المحدث إذا أراد الإحتجاج بحديث
شخص ونقل إليه فيه جرح، اجتهد فيه هل هو مؤثر أم لا
“Perbedaan pendapat mereka (ulama) adalah seperti
perbedaan pendapat para fuqahaa’, yang kesemuanya berdasarkan ijtihad.
Apabila ada orang yang memberikan kesaksian kepada seorang hakim tentang jarh atas
individu tertentu, maka ia pun akan berijtihad atas kesaksian tersebut, apakah
dapat diterima ataukah tidak. Begitu pula halnya dengan seorang muhaddits apabila
ia hendak berhujjah dengan hadits seseorang, dan dinukil kepadanya adanya jarh terhadap
orang tersebut, maka muhaddits itu akan berijtihad padanya, apakah
diterima atau tidak” [Tahriir ‘Uluumil-Hadiits, hal. 515].[1]
Dikarenakan perkara ini termasuk perkara ijtihadiyyah,
maka tidak ada seorang pun manusia setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, kecuali perkataannya dapat diterima ataupun ditolak. Tidak ada seorang
pun manusia setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang
perkataannya dijadikan standar untuk membenarkan atau menyalahkan sesuatu
secara mutlak. Dan tidak ada seorang pun manusia setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam yang ijtihad-nya haram diselisihi. Karena yang haram diselisihi
hanyalah kebenaran, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’ salaful-ummah.
Oleh karena itu, sangatlah aneh jika kemudian ada
sekelompok manusia yang menyerukan ‘persatuan pendapat’ atau ‘persatuan ijtihadiyyah’
dalam permasalahan al-jarh wat-ta’diil. Mereka ‘mengharuskan’ menerima
semua perkataan seorang ulama tertentu, memberlakukannya, dan memusuhi
pihak-pihak yang menyelisihi ijtihad ulama tersebut – meskipun pihak yang menyelisihi bersandar kepada ijtihaad ulama lain yang selevel. Bahkan,
menutup ‘udzur bagi pihak yang menyelisihi dan menghukumi mereka telah
berhujjah dengan khilaaf [?!?!?!].
Lihatlah bagaimana mu’amalah Ahmad bin Hanbal
dengan Yahyaa bin Ma’iin rahimahumallah. Mereka banyak berbeda pendapat
dalam masalah al-jarh wat-ta’diil pada individu-individu tertentu.[2]
Akan tetapi,…. apakah mereka saling mencela ? saling bermusuhan karena
perbedaan ijtihaad masing-masing ?. Ahmad rahimahullah pernah berkata
: “Setiap hadits yang tidak diketahui Yahyaa bin Ma’iin bukanlah hadits”. Di
lain waktu ia berkata : “Mendengar hadits bersama Yahyaa bin Ma’iin adalah obat
bagi penyakit di dalam hati” [selengkapnya lihat : Siyaru A’laamin-Nubalaa’
11/71-dst.]. Sebaliknya, Ibnu Ma’iin rahimahullah pernah berkata : “Aku
tidak pernah melihat orang yang meriwayatkan hadits karena Allah kecuali tiga :
Ya’laa bin ‘Ubaid, Al-Qa’nabiy, dan Ahmad bin Hanbal”. Di lain waktu ia berkata
: “Aku tidak pernah melihat orang semisal Ahmad. Aku telah bershahabat
dengannya selama 50 tahun dan ia tidak pernah membanggakan sedikitpun kebaikannya
kepada kami” [selengkapnya lihat : Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 11/177-dst.].
Mereka tidak saling menjatuhkan, namun saling
menghormati dan memuji keutamaan masing-masing.
Tidakkah kita bisa meniru mereka ?.
Wallaahul-musta’aan.Penulis: Abul-Jauza
Post: Muhammad Abdurrahman Al Amiry
Soal:
Beliau ditanya tentang persoalan laki-laki yang meninggalkan istrinya selama enam tahun serta tidak meninggalkan nafkah padanya. Kemudian istrinya tersebut menikah lagi dengan laki-laki lain, dan laki-laki tersebut telah berhubungan intim dengannya. Lalu datanglah suaminya yang pertama. Bagaimana status pernikahan yang kedua?
Jawab:
Jika pernikahan yang pertama sudah di-fasakh (dibatalkan oleh qadhi / KUA, ed.) dengan sebab suaminya tidak menafkahinya, dan juga telah selesai masa iddah-nya, lalu wanita tersebut menikah yang kedua kali maka nikahnya tersebut sah. Namun jika pernikahan kedua itu sebelum pernikah pertamanya di-fasakh maka pernikahan keduanya batal.
Sumber : Taudhiih Al Ahkaam, jilid : 5, hal. 76
Soal:
Beliau ditanya tentang persoalan laki-laki yang meninggalkan istrinya selama enam tahun serta tidak meninggalkan nafkah padanya. Kemudian istrinya tersebut menikah lagi dengan laki-laki lain, dan laki-laki tersebut telah berhubungan intim dengannya. Lalu datanglah suaminya yang pertama. Bagaimana status pernikahan yang kedua?
Jawab:
Jika pernikahan yang pertama sudah di-fasakh (dibatalkan oleh qadhi / KUA, ed.) dengan sebab suaminya tidak menafkahinya, dan juga telah selesai masa iddah-nya, lalu wanita tersebut menikah yang kedua kali maka nikahnya tersebut sah. Namun jika pernikahan kedua itu sebelum pernikah pertamanya di-fasakh maka pernikahan keduanya batal.
Sumber : Taudhiih Al Ahkaam, jilid : 5, hal. 76

0 komentar:
Posting Komentar