Adakah Syari'at Berpuasa Pada Hari Kelahiran Sebagaimana Rasulullah Berpuasa Pada Hari Kelahirannya? Dan Apa Hukum Berpuasa Pada Hari Jum'at?
Kami mendapatkan
kembali pertanyaan dari seorang ikhwah mengenai puasa hari kelahiran melalui akun twitter kami. Apakah
ada syari’at untuk puasa di hari kelahiran ataukah tidak. Berikut
pertanyaannya:
Assalammualaikum, apakah ada syariat,hadist nya puasa di hari kelahiran,puasa di hari jum'at itu haram/tidak boleh...??
Assalammualaikum, apakah ada syariat,hadist nya puasa di hari kelahiran,puasa di hari jum'at itu haram/tidak boleh...??
Jawaban: Dengan
meminta pertolongan dari Allah azza wa jalla kami menjawab, telah diriwayatkan
dari Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- mengenai sunnahnya puasa di hari
senin dan penyebab disunnahkannya puasa pada hari itu,
Rasulullah
bersabda:
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ
“Itu adalah hari aku dilahirkan dan hari aku diutus serta hari turunya wahyu kepadaku”[1]
Dalam hadits ini terlihat akan adanya syariat untuk berpuasa pada hari kita
dilahirkan, akan tetapi ini bukanlah hasil dari intisari pemahaman para
sahabat, dan bukan pula hasil dari tafsiran para ulama.
Karena:
1-
Syariat turun kepada Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wa sallam, dan orang yang paling paham tentang syariat setelah Rasul
adalah para sahabat, karena sahabatlah orang yang paling pertama tdisampaikannya
syariat oleh Nabi dan paling paham,
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam,
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku ( para sahabat ) kemudian generasi berikutnya (tabi’in) kemudian generasi berikutnya ( tabiu’t tabi’in )”[2]
Dan sebagaimana telah dikatakan :
لو كان خيرا لسبقونا إليه
“Seandainya amalan itu baik maka pastilah para sahabat telah mendahului kita dalam mengerjakan amalan tersebut”
Maka pertanyaannya:
Apakah hadits diatas diamalkan oleh para sahabat akan adanya syari’at puasa di hari kelahiran mereka. Jawabannya tidak. Dan tidak ada salah seorang sahabatpun yang berpuasa pada hari kelahiran mereka. Akan tetapi para sahabat hanya mengamalkan puasa pada hari dimana Rasulullah dilahirkan. Karena puasa adalah ibadah dan mengkhususkan harinya harus mempunyai dalil yang mendasarinya.
2-
Rasulullah hanya mensyariatkannya kepada para
shabat untuk berpuasa pada hari senin, maka kenapa kita melebarkan dan
meluaskannya ke hari-hari yang lain? Bukankah kewajiban seorang hamba hanya “سمعنا و أطعنا” (mendengar dan ta’at).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata"[3]
Adapun hukum
berpuasa pada hari jum’at, Rasulullah bersabda:
لا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ
الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ
بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ إِلا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ
“Janganlah
khususkan malam Jum’at dengan shalat malam tertentu yang tidak dilakukan pada
malam-malam lainnya. Janganlah pula khususkan hari Jum’at dengan puasa tertentu
yang tidak dilakukan pada hari-hari lainnya kecuali jika ada puasa yang
dilakukan karena sebab ketika itu.” [4]
Ibnu Qudamah
mengatakan, “Dimakruhkan menyendirikan puasa pada hari Jum’at saja kecuali jika
bertepatan dengan kebiasaan berpuasa. Seperti berpuasa Daud, yaitu sehari
berpuasa sehari tidak, lalu bertepatan dengan hari Jum’at atau bertepatan
dengan kebiasaan puasa di awal, akhir atau pertengahan bulan.” [5]
Imam Nawawi
mengatakan, “Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa dimakruhkan berpuasa pada hari
Jum’at secara bersendirian. Namun jika diikuti puasa sebelum atau sesudahnya
atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa nadzar karena sembuh
dari sakit dan bertepatan dengan hari Jum’at, maka tidaklah makruh.” [6]
Syaikh Muhammad
bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Dikecualikan dari larangan ini adalah jika
berpuasa sebelum atau sesudah Jum’at, atau bertepatan dengan kebiasaan puasa
seperti berpuasa pada ayyamul bidh, atau bertepatan dengan puasa Arafah, atau
karena puasa nadzar.”[7]
Dan di
perbolehkan juga, untuk berpuasa pada hari jum’at, jika kita pada hari kamis
berpuasa ataupun hari sabtu kita berpuasa.
Sebagaimana yang
tertera dalam sabda nabi –shallahu alaihi wa sallam-:
لا يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ
‘Janganlah
salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum’at kecuali jika ia
berpuasa pula pada hari sebelum atau sesudahnya.” [8]
Dari Juwairiyyah
–radhyallahu anha- :
أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَهِيَ صَائِمَةٌ
فَقَالَ أَصُمْتِ أَمْسِ قَالَتْ لا قَالَ تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِي غَدًا قَالَتْ
لا قَالَ فَأَفْطِرِي وَقَالَ حَمَّادُ بْنُ الْجَعْدِ سَمِعَ قَتَادَةَ حَدَّثَنِي
أَبُو أَيُّوبَ أَنَّ جُوَيْرِيَةَ حَدَّثَتْهُ فَأَمَرَهَا فَأَفْطَرَتْ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuinya pada hari Jum’at dan ia dalam
keadaan berpuasa, lalu beliau bersabda, “Apakah engkau berpuasa kemarin?”
“Tidak”, jawabnya. “Apakah engkau ingin berpuasa besok?”, tanya beliau lagi.
“Tidak”, jawabnya lagi. “Batalkanlah puasamu”, kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Hammad bin Al Ja’d, ia mendengar Qotadah, Abu Ayyub mengatakan padanya
bahwa Juwairiyah berkata bahwa ia membatalkan puasanya ketika Nabi -shallallahu
‘alaihi wa sallam- memerintahkan”
Allahu ta’ala
a’lam
Penulis: Muhammad Abdurrahman AlAmiry
Artikel: al-amiry.blogspot.com
Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di al-amiry.blogspot.com dengan menyertakan al-amiry.blogspot.com sebagai sumber artikel.
[1] HR Muslim
[2] HR Bukhari Muslim
[3] QS Al Ahzab: 33-36
[4] HR Muslim
[5] Al
Mughni, 3: 53.
[6] Al
Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, 6: 479.
[7] Syarhul Mumthi’ (6: 465)
[8] Bukhari Muslim

0 komentar:
Posting Komentar