Mengungkap Kebodohan Emilia Renita Az Yang Menghalalkan Mut’ah Dalam Kitab Sunnni
Disini kita (Al Amiry) akan mengungkap kebodohan dedengkot syiah Indonesia yang hanya mengutip dan
mencomot sebuah perkataan tanpa membaca terlebih dahulu alias hanya cok gali
cok (gali-gali yang penting cocok).
Yang sangat
menggelitikkan diri saya adalah Emilia berdalil akan syariat nikah mut’ah
dengan surat an nisa ayat 24. Sangat ketara sekali, bahwasanya Emilia Renita
hanya mengutip sebuah dalil dari Al Quran tanpa membandingkannya dengan ajaran
syiah yang dianut olehnya. Mari kita sama-sama melihat kejahilannya. Dalam
sebuah tulisannya dia menguktip dalil dari Al Quran untuk menghalalkan mut’ah.
Dalil yang digunakan olehnya adalah firman Allah:
وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ
لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan
(diharamkan juga kamu menikahi) wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak
yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas
kamu. Dan
dihalalkan bagi kamu selain
yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu agar kamu menjadi
muhson ( dengan menikahinya dengan akad yang benar) dan bukan menjadi musafih (yakni
dengan berzina). Maka isteri-isteri yang telah kamuni’mati (campuri) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengansempurna), sebagai suatu
kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadapsesuatu yang kamu telah
saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana” QS An Nisa: 24
Yang menjadi
dalil bagi Emilia akan kebolehan nikah mut’ah adalah firman Allah diatas: “Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan
hartamu agar kamu menjadi muhson ( dengan menikahinya dengan akad yang benar)
dan bukan menjadi musafih (pezina). Maka isteri-isteri yang telah kamuni’mati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengansempurna)”
Akan tetapi
yang menjadi masalah bagi Emilia adalah hanya mencomot dan tidak mencocokkan
dengan ajaran syiah terlebih dahulu. Dia sudah merasa bahagia karena telah
mendapatkan ayat yang membolehkan mut’ah padahal dalam ajaran syiah tidak bisa.
Thoyyib, kita
mulai saja.
1- Dalam ayat
tersebut Allah menyebutkan ayat tersebut dengan lafadz “Muhson”[1].
Lafadz “Muhson” inilah yang seharusnya dilingkari oleh Emilia Renita agar dia tidak
terlihat terlalu bodoh didepan ummatnya. Mengapa ?? Karena menurut ajaran syiah,
nikah mut’ah tidak bisa merubah seseorang menjadi muhson. Inilah riwayat dari imam ma’shum mereka yang
menyatakan bahwasanya mut’ah tidak dapat merubah seseorang menjadi muhson:
عن أبي عبدالله (
عليه السلام ) في الرجل يتزوّج المتعة أتحصنه ؟ قال : لا إنما ذاك على الشيء الدائم
عنده
Dari Abi
Abdillah alaihissalam tentang seseorang yang menikah mut’ah, apakah nikah mut’ah
menjadikannya muhson ? Maka Abu Abdillah berkata: Tidak, sesungguhnya muhson
hanya didapatkan dengan nikah daim”[2]
Wasail Asy Syiah 247/17
Imam ma’shum
mereka berkata Nikah mut’ah tidak bisa menjadikan seorang itu muhson, sedangkan
firman Allah yang diatas (yakni surat An Nisa: 24) berbicara tentang muhson.
Disini membuktikan, bahwasanya ayat ini tidak berbicara tentang nikah mut’ah
melainkan nikah daim.
Kita ulangi kembali
biar lebih jelasnya. Allah berfirman: “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang
demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu agar kamu menjadi muhson
( dengan menikahinya dengan akad yang benar)”. (Selesai kutipan ayat). Disini
Allah menganjurkan kita nikah agar menjadi muhson, sedangkan dalam ajaran syiah
nikah mut’ah tidak dapat menjadikan seseorang menjadi muhson. Dengan demikian,
dalil diatas seharusnya tidak dijadikan oleh Emilia Renita menjadi hujjah akan
kebolehan mut’ah, karena ayat berbicara tentang muhson adapun nikah mut’ah
tidak dapat menjadikan seseorang muhson. Walhasil, ayat diatas berbicara tentang
nikah da’im dan bukan nikah mut’ah. Karena nikah daim dapat menjadikan
seseorang menjadi muhson adapun nikah mut’ah maka tidak bisa menjadikan
seseorang menjadi muhson.
Dan begitulah,
pada akhirnya ayat tersebut menggugat Emilia sendiri tanpa disadari olehnya.
2- Kemudian awal
ayat diatas juga menggugat ajaran syiah. Yang mana imam mereka “Khumaini”
membolehkan dan menjadikan nikah mut’ah bersama seorang wanita yang telah
memiliki suami adalah nikah yang sah (sebagaimana yang telah kita bahas pada
artikel sebelumnya). Adapun ayat diatas (yang dijadikan dalil oleh Emilia akan
kebolehan mut’ah), dengan jelas ayat tersebut mengharamkan nikah dengan seorang
yang telah memiliki suami. Silahkan lihat ulang ayat diatas, Allah berfirman:
وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
“Dan
(diharamkan juga kamu menikahi) wanita-wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu”
Dengan jelas
ayat diatas menjelaskan akan kontradiksi hujjah Emilia Renita Az.
3- Perkataan
Emilia Renita Az: “Menurut Al-Fakhr al-Razi: “Ayat ini khusustentang nikah
mut’ah karena alasan berikut”.
Maka kami (Al
Amiry) tanggapi: Inilah hanya mencomot dan mengutip tanpa melihat bukunya. Yang
dikatakan Ar Razi dalam menafsirkan ayat diatas adalah:
فِي هَذِهِ الْآيَةِ
قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ عُلَمَاءِ الْأُمَّةِ أَنَّ قَوْلَهُ:
أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوالِكُمْ الْمُرَادُ مِنْهُ ابْتِغَاءُ النِّسَاءِ بِالْأَمْوَالِ
عَلَى طَرِيقِ النِّكَاحِ، وَقَوْلُهُ: فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ
أُجُورَهُنَ
فَإِنِ اسْتَمْتَعَ
بِالدُّخُولِ بِهَا آتَاهَا الْمَهْرَ بِالتَّمَامِ، وَإِنِ اسْتَمْتَعَ بِعَقْدِ النِّكَاحِ
آتَاهَا نِصْفَ الْمَهْرِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي:
أَنَّ الْمُرَادَ بِهَذِهِ الْآيَةِ حُكْمُ الْمُتْعَةِ
“Dalam ayat ini terdapat dua perkataan: Yang pertama dan
dia adalah pendapat dari mayoritas para ulama, bahwasanya firman Allah: “(yaitu)
mencari isteri-isteri dengan hartamu” maksudnya adalah mencari wanita dengan
harta dengan cara pernikahan yang benar (sah). Dan firman Allah: “Maka
isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya”. Maksudnya adalah jika seseorang telah menikmati dengan
bersetubuh maka dia harus mendatangkan maharnya dengan sempurna (dan bukan
upah). Dan pendapat yang kedua adalah: maksud dari ayat tersebut adalah hukum
mut’ah” Tafsir
Ar Razi 10/41
Adapun yang dikatakan oleh Emilia bahwasanya Ar Razi
memilih pendapat bahwasanya ayat ini adalah ayat mut’ah dengan beberapa hujjah
yang disebutkan olehnya, maka ini tidaklah benar. Karena Ar Razi hanya
menyebutkan 2 pendapat beserta hujjah dari kedua belah pihak kemudian di tarjih.
Adapun Emilia hanya mengambil dari kitab Ar Razi yang hanya membolehkan nikah mut’ah saja dan tidak menyebutkan
tarjihnya Ar Razi.
Kita dapat melihat Ar Razi yang mentafsirkan ayat ini,
tatkala beliau menyebutkan kelompok yang menyatakan bahwasanya ayat ini bukan
untuk nikah mut’ah dan nikah mut’ah adalah haram karena:
- Nikah mut’ah haram karena Allah mengharamkan bersetubuh
kecuali dari dua jenis saja “zaujah (istri)” dan “budak”, sebagaimana yang
difirmankan Allah tentang orang-orang yang shalih:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حافِظُونَ إِلَّا
عَلى أَزْواجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمانُهُمْ
“Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka dan
budak-budak mereka” QS Al Ma’arij: 29-30
Sedangkan
wanita yang dimut’ah bukanlah zaujah (istri) berbeda dengan wanita dengan
menikah yang sah maka dia adalah zaujah. Mengapa ?? Karena seandainya wanita
yang dimut’ah adalah zaujah maka seharusnya terjadi pewarisan antara keduanya,
namun nikah mut’ah tidak. Dan seharusnya nasabnya jelas akan tetapi nikah mut’ah
tidak, dan seharusnya ada iddah akan tetapi nikah mut’ah tidak.
- Nikah mut’ah
haram karena Umar bin Khottob berkata dalam khutbahnya:
متعتان كانتا على
عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أنهى عنهما، وأعاقب عليهما
“Dua mut’ah
yang dahulu pernah ada dizaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, aku
melarangnya dan aku menghukum orang melakukannya” HR Malik dan Ahmad
Dan Umar bin
Khottob mengatakan ini di depan banyak sahabat saat khutbah dan tidak ada
satupun sahabat yang mengingkarinya. Maka ada kemungkinan para sahabat tidak
mengingkari umar:
> Karena
para sahabat telah mengetahui akan keharaman mut’ah sehingga mereka diam saja.
> Para
sahabat hanya diam karena berlemah lembut dan membujuk
> Para
sahabat tidak mengetahui hukumnya. Sehingga mereka hanya diam saja.
Maka
kemungkinan pertamalah yang benar, bahwasanya para sahabat telah mengetahui
akan keharam mut’ah sehingga mut’ah adalah haram secara ijma’. Adapun
kemungkinan yang kedua maka tidak benar, karena Umar dan seluruh sahabat bisa
kafir dengan kemungkinan ini, karena barang siapa yang mengetahui akan
kehalalan mut’ah jika dia mengharamkannya tanpa adanya naskh (penghapusan
hukum), maka dia bisa kafir. Dan orang yang menyetujuinya sedangkan dia
mempunyai ilmu maka dia juga bisa kafir, dan ini sangat bertolak belakang.
Karena para sahabat tidak mungkin kafir karena mereka adalah sebaik-baik ummat.
Allah berfirman: “Kalian adalah sebaik-baik ummat” QS Ali Imaron: 110
- Nikah mut’ah
haram karena ada nash yang mengharamkannya.
عَنْ عَلِيِّ بْنِ
أَبِي طَالِبٍ، «أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ
النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ، وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ
Dari Ali bin
Abi Tholib: “Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengharamkan
mut’ah pada zaman perang khoibar dan mengharamkan makan daging keledai jinak”HR
Bukhari Muslim
Tatkala Ar
Razi memaparkan pendapat yang mengharamkan mut’ah dan hujjjah-hujjah mereka
beliau berkata:
وَاعْلَمْ أَنَّ هَذِهِ
الْحُجَّةَ كَلَامٌ حَسَنٌ مُقَرَّرٌ
“Dan
ketahuilah bahwasanya hujjah ini adalah perkataan yang baik dan yang menjadi
ketetapan”
Dan Ar Razi
juga berkata dalam akhir pembahasan:
قَدْ بَيَّنَّا أَنَّهُ
لَوْ كَانَ مُرَادُهُ أَنَّ الْمُتْعَةَ كَانَتْ مُبَاحَةً فِي شَرْعِ مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَنْهَى عَنْهُ لَزِمَ تَكْفِيرُهُ وَتَكْفِيرُ
كُلِّ مَنْ لَمْ يُحَارِبْهُ وَيُنَازِعْهُ، وَيُفْضِي ذَلِكَ إِلَى تَكْفِيرِ أَمِيرِ
الْمُؤْمِنِينَ حَيْثُ لَمْ يُحَارِبْهُ وَلَمْ يَرُدَّ ذَلِكَ الْقَوْلَ عَلَيْهِ،
وَكُلُّ ذَلِكَ بَاطِلٌ، فَلَمْ يَبْقَ إِلَّا أَنْ يُقَالَ: كَانَ مُرَادُهُ أَنَّ
الْمُتْعَةَ كَانَتْ مُبَاحَةً فِي زَمَنِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
وَأَنَا أَنْهَى عَنْهَا لِمَا ثَبَتَ عِنْدِي أَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَسَخَهَا، وَعَلَى هَذَا التَّقْدِيرِ يَصِيرُ هَذَا الْكَلَامُ حُجَّةً لَنَا فِي
مَطْلُوبِنَا واللَّه أَعْلَمُ
“Sudah kami jelaskan, seandainya mut’ah hukumnya adalah
mubah akan tetapi Umar malah mengatakan “saya mengharamkannya” maka dengan
kemungkinan ini, Umar dan seluruh sahabat yang tidak memeranginya dan tidak
berselisih pendapat dengannya akan menjadi kafir, begitupula amirul mu’min Ali
bin Abi tholib akan menjadi kafir sebagaimana Ali tidak memeranginya dan tidak
membantah perkataannya, dan semua ini adalah bathil, maka tidak ada lagi
kemungkinan, kecuali hanya kemungkinan: bahwasanya mut’ah pernah dibolehkan di
zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan Umar melarangnya karena
telah ada berita bahwasanya nabi menasakhnya (menghapus hukumnya), maka atas
dasar ini, pendapat ini adalah hujjah kami dari apa yang kami maksud. Allahu A’lam”
Tafsir Ar Razi 10/44
Jadi, apa yang
dikatakan Emilia Renita Az bahwasanya Ar Razi membolehkan mut’ah itu hanya
buatan dia tanpa melihat kitabnya langsung atau dia hanya copy paste ??
Adapun qira’ah
Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab itu bukanlah jadi masalah, yang jadi masalah adalah
naskh hukum mut’ah datang setelah qira’ah mereka berdua. Maka dari itu Ar Razi
menjawab:
وَهَذَا هُوَ الْجَوَابُ
أَيْضًا عَنْ تَمَسُّكِهِمْ بِقِرَاءَةِ أُبَيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ، فَإِنَّ تِلْكَ
الْقِرَاءَةَ بِتَقْدِيرِ ثُبُوتِهَا لَا تَدُلُّ إِلَّا عَلَى أَنَّ الْمُتْعَةَ كَانَتْ
مَشْرُوعَةً، وَنَحْنُ لَا نُنَازِعُ فِيهِ، إِنَّمَا الَّذِي نَقُولُهُ: إِنَّ النَّسْخَ
طَرَأَ عَلَيْهِ
“Dan ini juga
jawaban terhadap orang-orang yang berpegang teguh dengan qira’ah Ubay dan Ibnu
Abbas (akan kebolehan mut’ah), walaupun qira’ah ini memang ada akan tetapi
qiraah ini sama sekali tidak mengisyaratkan sesuatu apapun kecuali qiraah ini
hanyalah mengisyaratkan bahwasanya mut’ah dahulunya memang ada syariatnya, dan kami
tidak berselisih pendapat akan hal ini, akan tetapi kami mengatakan:
sesungguhnya naskh mucul setelahnya”Tafsir Ar Razi 10/44
Walhasil
Emilia hanya berdusta dan hanya mencomot nash kitab seenaknya.
4- Karena
Emilia Renita Az ingin membuktikan dalam kitab sunni, seharusnya Emilia
menyebutkan dalil yang begitu banyak akan keharaman mut’ah dalam kitab sunni.
Salah satunya Ali bin Tholib –Imam besar mulia menurut syiah- yang menegur Ibnu Abbas yang terlalu lembut akan
mut’ah, Ali radhiyallahu anhu berkata:
مَهْلًا يَا ابْنَ
عَبَّاسٍ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْهَا يَوْمَ
خَيْبَرَ، وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ
“Hati-hati wahai Ibnu Abbas, sesungguhnya Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam melarang nikah mut’ah pada hari khoibar, dan daging
keledai yang jinak” HR Muslim
Ini adalah imam besar kaum muslimin –sunni dan syiah-
mengakuinya, kalau si Emilia mau pintar seharusnya di mengambil dalil ini akan
pengharaman mut’ah, akan tetapi mengapa dia tidak mencantumkan dalil ini ??
Karena hanya ingin pembenaran dan bukan kebenaran.
Sehingga dalam sunni terdapat perbedaan pendapat akan
waktu diharamkannya nikah mut’ah. Walaupun mereka berselisih tentang waktu
diharamkannya mut’ah, akan tetapi mereka sepakat dan ijma’ akan keharaman nikah
mut’ah. Begitupula walaupun nikah mut’ah diperselisihkan jumlah pengharaman dan
penghalalannya akan tetapi mereka sepakat dan berijma’ atas keharamannya
setelah naskh.
Fuad Abdul Baqi berkata:
قال الإمام النووي الصواب المختار أن التحريم والإباحة
كانا مرتين فكانت حلالا قبل خيبر ثم حرمت يوم خيبر ثم أبيحت يوم فتح مكة وهو يوم أوطاس
لاتصالهما ثم حرمت يومئذ بعد ثلاثة أيام تحريما مؤبدا إلى يوم القيامة واستمر التحريم
قال القاضي واتفق العلماء على أن هذه المتعة كانت نكاحا إلى أجل لا ميراث فيها وفراقها
يحصل بانقضاء الأجل من غير طلاق ووقع الإجماع بعد ذلك على تحريمها من جميع العلماء
إلا الروافض
“Imam
An-Nawawi berkata, “Yang benarnya bahwa pengharaman dan pembolehan mut’ah
masing-masing terjadi dua kali. Dulunya mut’ah halal sebelum perang Khaibar,
kemudian diharamkan pada perang Khaibar, kemudian mut’ah kembali dibolehkan
pada hari dikuasainya Makkah -yaitu hari Authas karena waktunya bersambung
dengannya-, kemudian tiga hari setelahnya mut’ah kembali diharamkan dengan
pengharaman yang permanen sampai hari kiamat. Al-Qadhi berkata, “Para ulama
telah sepakat bahwa mut’ah ini dulunya berupa pernikahan berjangka waktu
tertentu, yang tidak mengakibatkan keduanya saling mewarisi. Perceraiannya
terjadi cukup dengan berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan, tanpa
perlu melafazhkan kata talak. Kemudian setelah itu telah jatuh ijma’ akan
pengharamannya dari seluruh ulama, kecuali Rafidhah.” Shohih Muslim 2/1022
Dan Ibnu
taimiyyah juga berkata:
فَهَذَا " نِكَاحُ
الْمُتْعَةِ " الَّذِي اتَّفَقَ الْأَئِمَّةُ الْأَرْبَعَةُ وَغَيْرُهُمْ عَلَى
تَحْرِيمِهِ
“Maka ini (nikah
mut’ah) yang mana 4 imam dan selainnya sepakat akan keharamannya” Majmu’ fatawa
32/107
Sehingga sunni
sepakat akan keharaman nikah mut’ah setelah naskh walaupun terjadi khilaf kapan
dinaskh dan berapa kali dinaskh. Akan tetapi mereka berijma’ akan keharamannya.
Adapun Emilia Renita hanya mengumpulkan perselishannya dan membenturkan
seenaknya untuk menggugurkan ima’ mereka.
Seperti kasus
tulisannya yang ada pada bahasan terakhir, dia hanya menukilkan pendapat yang
ada dalam Zaad Al Ma’ad bahwasanya mut’ah tidak diharamkan pada khoibar, dan menyatakan
bahwasanya hadits sabrah bin ma’bad yang mengharamkan nikah mut’ah pada fath
mekkah adalah lemah. Seakan-akan dia inginmembenturkan 2 pendapat ini hanya
memotong yang sana dan memotong yang sini kemudian di benturkan sehingga kedua-duanya
gugur.
Padahal ibnul
qayyim hanya menyebutkan sebuah kelompok yang mendhoifkan hadits tersebut, dan
sebenarnya ada kelompok lain yang menshohihkannya dan ini disebutkan oleh Ibnul
Qayyim setelahnya. Beliau berkata:
وَالطَّائِفَةُ الثَّانِيَةُ:
رَأَتْ صِحَّةَ حَدِيثِ سبرة، وَلَوْ لَمْ يَصِحَّ فَقَدْ صَحَّ حَدِيثُ علي - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «حَرَّمَ مُتْعَةَ النِّسَاءِ
“Adapun kelompok yang kedua: maka mereka berpendapat
akan shohihnya hadits sabrah, kalaupun haditsnya tidak shohih maka hadits Ali
telah shohih, bahwasanya Rasulullah “Mengharamkan memut’ah wanita”
Sehingga walaupun
mereka berselisih dalam derajat hadits akan tetapi mereka sepakat akan
keharamannya. Pendapat kelompok pertama: Walaupun haditsnya pada fath mekkah
dhoif akan tetapi Umar melarangnya dan Umar adalah khulafa’ ar rasyidin yang
harus dipegang sunnahnya dan kelompok kedua: begitupula Rasulullah telah
melarangnya secara nash shohih dari Ali.
Maka dari itu
ibnul Qayyim berkata tentang pendapat kelompok pertama:
وَقَدْ أَمَرَ رَسُولُ
اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِاتِّبَاعِ مَا سَنَّهُ الْخُلَفَاءُ
الرَّاشِدُونَ، وَلَمْ تَرَ هَذِهِ الطَّائِفَةُ تَصْحِيحَ حَدِيثِ سبرة بن معبد
“Dan
Rasulullah telah memerintahkan untuk mengikuti sunnah khulafa ar rasyidin dan
kelompok ini tidak tidak berpendapat akan shohihnya hadits sabrah bin ma’bad”
Zaad Al Ma’ad 3/406
5- Kalau si
Emilia ingin mengungkapkan kehalalan mut’ah dalam kitab-kitab sunni walaupun
akhirnya gak ketemu, maka sebaliknya kami akan mengungkapkan riwayat haramnya
nikah mut’ah dalam kitab-kitab syiah.
Disebutkan
sebuah riwayat dalam kitab mereka:
عن أبي الجوزاء ،
عن الحسين بن علوان ، عن عمرو بن خالد ، عن زيد بن علي ، عن آبائه عن علي ( عليهم السلام
) قال : حرم رسول الله ( صلى الله عليه وآله ) يوم خيبر لحوم الحمر الاهلية ونكاح المتعة .
Dari Abil Jauza dari Husain bin Alwan dari Amr bin Kholid
dari Zaid bin Ali dan bapak-bapaknya dari Ali alaihimussalam, dia berkata:
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengharamkan daging keledai jinak dan
nikah mut’ah pada hari khoibar” Al Istibsar 3/142
Inilah riwayat akan keharaman nikah mut’ah dalam
kitab-kitab syiah dan jika Emilia beralasan bahwasanya imam mereka mengatakan
hal ini karena taqiyyah, maka bagaimana dengan riwayat ini, Abdullah bin Umair
berkata kepada Abu Ja’far alaihissalam :
يسرك أن نساءك وبناتك وأخواتك وبنات عمك يفعلن ؟
قال: فأعرض عنه أبو جعفر ( عليه السلام ) و عن مقالته ، حين ذكر نساءه و بنات عمه
“Apakah kamu
bahagia jika istri-istrimu dan saudari-saudarimu dan sepupu-sepupumu melakukan
mut’ah ? Maka dia berkata: Seketika itu Abu Ja’far berpaling darinya dan
perkataannya tatkala disebutkan istrinya dan sepupunya” Mustadrak Al Wasa’il
14/358 dan Wasa’il Asy Syiah 245/2
Jika memang
benar riwayat pertama karena taqiyyah lantas bagaimana dengan riwayat yang
kedua, yang mana Imam Ma’shum mereka benci jika istrinya dan sepupunya melakukan
mut’ah ?? Kenapa imam mereka malah berpaling jikalau imamnya memang
mensyariatkan ??
6- Kemudian
yang perlu diperhatikan oleh ikhwah sekalian, jikalau syiah selalu mencari-cari
mut’ah dalam kitab sunni, maka ketahuilah anatara praktek mut’ah sunni yang ada
pada zaman dahulu berbeda dengan praktek syiah yang ada.
Kita
seharusnya mengambil hakikatnya bukan namanya, walaupun sama-sama bernamakan
mut’ah, apakah hakikat keduanya sama ?? Ternyata hakikatnya berbeda (yang mana
nanti akan kita bahas). Dalam kaidah disebutkan:
العبرة بالمسميات
لا بالأسماء
“Ibrah yang
dianggap adalah hakikat sesuatu yang dinamakan dan bukan namanya”
Kalau hanya
namanya yang sama, maka itu bukanlah suatu permasalahan. Akan tetapi yang
dipermasalahkan adalah hakikatnya. Orang-orang munafik saja menamakan diri
mereka dengan muslih (yang memperbaiki), akan tetapi apakah Allah menerima nama
ini ?? Ternyata Allah tidak menerimanya karena hakikat mereka bukanlah muslih
melainkan mufsid (perusak) walaupun mereka menamai diri mereka dengan mushlih .
Allah berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ
لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
“Dan tatkala
dikatakan kepada mereka : janganlah kalian merusak di muka bumi. Maka mereka
menjawab: sesungguhnya kami adalah Muslih (berbuat baik)” QS Al Baqarah: 11
Pertanyaannya:
apakah Allah menerima pengakuan nama mereka ??Jawabannya, Tidak. Karena yang dilihat adalah hakikatnya.
Hakikat orang-orang munafik adalah perusak, maka dari itu Allah melanjutkan
firmannya:
أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
“Ketahuilah
mereka adalah perusak akan tetapi mereka tidak merasa” QS Al Baqarah: 12
Jadi, yang
dilihat adalah hakikatnya bukan namanya. Walaupun namanya mut’ah akan tetapi
prakteknya bukan mut’ah maka itu bukanlah mut’ah. Contoh lain, sekarang kita
mendapat orang-orang merubah nama khomr dengan tujuan agar khomr berubah
menjadi halal, walaupun seandainya ada sebuah khomr yang bernama “halal” akan
tetapi hakikatnya memabukkan maka tetaplah haram. Maka dari itu Rasulullah
bersabda:
يَشْرَبُ نَاسٌ مِنْ
أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا
“Manusia dari
ummatku meminum khomr dengan cara merubahnya dengan selain namanya” HR Nasa’i
Nah, sekarang
kita lihat praktek mut’ah dalam sunni dan syiah sangat berbeda. Mut’ah dalam sunni
secara global sama dengan nikah biasa dengan syarat izin wali, mahar, dan 2
saksi, hanya saja mut’ah sunni ada syarat waktu.
-Sunni
mensyaratkan adanya izin wali dengan dalil, Rasulullah bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ
نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ،
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Siapa saja
wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil (tidak sah),
pernikahannya bathil, pernikahannya bathil” HR Abu Dawud dan At Tirmidzi dll
- Begitupula
sunni mensyaratkan 2 saksi dengan dalil, sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ
بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَى عَدْلٍ
“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua
saksi yang adil” HR Thobrani dan Baihaqi
Adapun nikah
mut’ah syiah maka tidak disyaratkan adanya
izin wali, begitupula saksi. Dan ini dapat kita saksikan sendiri dalam
kitab-kitab mereka.
- Syiah tidak
mensyaratkan adanya wali, lihat perkataan imam ma’shum mereka:
لا بأس بتزويج البكر
إذا رضيت من غير إذن أبيها
"Tidak
mengapa menikahi gadis apabila ia ridha meskipun tanpa izin ayahnya"
Tahdzib Al Ahkam 226/4
-Syiah tidak
mensyaratkan adanya saksi, lihat perkataan imam ma’shum mereka:
عَنْ زُرَارَةَ بْنِ
أَعْيَنَ قَالَ سُئِلَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) عَنِ الرَّجُلِ يَتَزَوَّجُ
الْمَرْأَةَ بِغَيْرِ شُهُودٍ فَقَالَ لَا بَأْسَ بِتَزْوِيجِ الْبَتَّةِ فِيمَا بَيْنَهُ
وَ بَيْنَ اللَّهِ إِنَّمَا جُعِلَ الشُّهُودُ فِي تَزْوِيجِ الْبَتَّةِ مِنْ أَجْلِ
الْوَلَدِ لَوْ لَا ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ بِهِ بَأْسٌ
Dari Zuraarah
bin A’yan, ia berkata : Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam pernah ditanya tentang
seorang laki-laki yang menikahi wanita tanpa ada saksi-saksi, maka ia menjawab
: “Tidak mengapa dengan pernikahan yang terjadi antara dirinya dan Allah.
Dijadikan saksi-saksi dalam pernikahan itu hanyalah karena (keberadaan) anak
(yang dihasilkan). Jika tidak demikian[1], maka tidak mengapa” Al Kafi: 5/387
- Syiah
membolehkan mut’ah dengan pezina sedangkan sunni haram mutlak kecuali dia telah
bertaubat. Disebutkan dalam fatwa Khumaini:
يجوز التمتع بالزانية
على كراهية
"Dibolehkan nikah mut'ah dengan seorang wanita
pelacur (tukang zina) akan tetapi hukumnya makruh"
Padahal dalam
ajaran islam, bagaimanapun keadaannya, nikah sama pezina hukumnya adalah haram
kecuali dia telah bertaubat. Allah berfirman:
وَالزَّانِيَةُ لَا
يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ
"Wanita pelacur (tukang zina) tidak boleh
dinikahi kecuali oleh lelaki pezina atau lelaki musyrik" QS An Nur: 2
Sehingga
walaupun namanya sama akan tetapi hakikatnya berbeda. Walhasil mut’ah dalam
praktek mut’ah syiah adalah zina dan bukan mut’ah. Maka dari itu Imam Qurthubi
berkata dengan tegas:
من قال: أَتَزَوَّجُكِ
يَوْمًا- أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ- عَلَى أَنَّهُ لَا عِدَّةَ عَلَيْكِ وَلَا مِيرَاثَ
بَيْنَنَا وَلَا طَلَاقَ وَلَا شَاهِدَ يَشْهَدُ عَلَى ذَلِكَ، وَهَذَا هُوَ الزِّنَى
بِعَيْنِهِ وَلَمْ يُبَحْ قَطُّ فِي الْإِسْلَامِ
Barangsiapa yang mengatakan: Aku akan menikahi mu pada
suatu hari –ataupun lafadz yang semisalnya- dengan praktek tidak ada iddah
atasmu dan tidak ada pewarisan antara kita dan tidak ada tholaq dan tidak ada
saksi yang menyaksikan, maka ini adalah zina secara hakikatnya dan sama sekali
islam tidak pernah membolehkan praktek seperti ini” Tafsir Ath Thobari 5/132
Wal hasil, praktek mut’ah syiah tidak pernah
diperbolehkan dalam ajaran islam (sunni).
Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Wa shallallahu alaa
nabiyyinaa Muhammad.
Penulis: Muhammad Abdurrahman Al Amiry
Artikel: alamiry.net (Kajian Al Amiry)
Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di alamiry.net dengan menyertakan alamiry.net sebagai sumber artikel.
Ikuti status kami dengan menekan tombol like pada halaman FB Muhammad Abdurrahman Al Amiry , dan tombol follow pada akun Twitter @abdr_alamiry
Artikel: alamiry.net (Kajian Al Amiry)
Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di alamiry.net dengan menyertakan alamiry.net sebagai sumber artikel.
Ikuti status kami dengan menekan tombol like pada halaman FB Muhammad Abdurrahman Al Amiry , dan tombol follow pada akun Twitter @abdr_alamiry
[1] Muhson adalah seseorang yang menikah dan
telah menggauli istrinya dalam pernikahan yang sah dan dia adalah seorang yang
baligh, berakal, dan bukan budak. Sehingga syarat ihson (muhson) secara global
adalah: sudah mukallaf, bebas, dan bersetubuh dalam pernikahan yang sah.
[2] Selain Wasa’il Asy Syiah, riwayat ini juga
disebut dalam kitab syiah “Bihar Al Anwar 76/40” “Al Kaafi 7/248” “Tahdzib Al
Ahkam 239/10

0 komentar:
Posting Komentar