Hukum Jima’ Bersama Istri Setelah Selesainya Masa Haid Sebelum Mandi
Kita ketahui
bersama bahwasanya berjima’ dengan istri ketika haid adalah suatu hal yang haram
bahkan termasuk dosa besar karena hal tersebut bagian dari kekufuran. Namun
bukan berarti pelakunya adalah kafir keluar dari islam. Yang dimaksud adalah
kufur nikmat Allah. Dalam sebuah riwayat yang shahih, Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda:
من أتى كاهنا فصدقه
بما يقول، أو أتى امرأته حائضاً، أوأتى امرأته في دبرها، فقد برئ مما أنزل الله على
محمد
“Barangsiapa
yang mendatangi dukun dan mempercai apa yang dikatakan olehnya, atau bersetubuh
dengan istri ketika dia haid, atau bersetubuh dengan istri melalu duburnya,
maka dia telah berlepas diri dari apa yang Allah turunkan kepada Muhammad” HR
Abu Dawud dan dishahihkan oleh syaikh Al Albani
Ketika kita
mengetahui bahwasanya bersetubuh dengan istri di masa haid adalah dosa besar
dan
termasuk kekufuran, lantas bagaimana jika istri telah suci dari haid (darah
haid telah berhenti) namun belum mandi. Apakah diperbolehkan?
Dalam sebuah
ayat disebutkan:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ
الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ
حَتَّى يَطْهُرْنَ
“Dan mereka
bertanya kepada tentang haid, katakanlah haid adalah perkara yang kotor maka
jauhilah istri-istri (tidak menyetubuhinya) ketika haid dan janganlah dekati
mereka kecuali mereka telah suci” QS Al Baqarah: 222
Dalam ayat
diatas, “telah suci” apakah yang dimaksud adalah telah berhenti darah haid atau
bersuci dengan mandi?
Ternyata
lanjutan ayat tersebut yang menafsirkan.
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِين
“Maka jika mereka telah “mensucikan diri-diri” mereka
maka setubuhilah dari jalan yang Allah perintahkan kepadamu (kemaluan).
Sesungguhnya Allah mencintai hamba-hambaNya yang selalu bertaubat dan yang
selalu mensucikan dirinya” QS Al Baqarah: 222
Dalam ayat
diatas sebagai lanjutan ayat sebelumnya, sangat jelas disebutkan lafadz “mensucikan
diri”. Maka dapat kita simpulkan bahwasanya menyetubuhi istri yang baru saja
selesai haidnya tidak boleh dilakukan sampai sang istri telah mesucikan dirinya
dengan mandi.
Maka dari itu
Ibnu Katsir rahimahullah berkata menafsirkan ayat diatas:
وقد اتفق العلماء
على أن المرأة إذا انقطع حيضها لا تحل حتى تغتسل بالماء أو تتيمم، إن تعذر ذلك عليها
بشرطه
“Dan para
ulama telah bersepakat bahwasanya perempuan yang telah selesai masa haidnya,
tidak dihalalkan baginya untuk bersetubuh sampai dia mandi atau bertayammum
jika dia memiliki udzur dengan syarat-syaratnya” Tafsir Ibni Katsir 1/588
Syaikh Bin Baz
rahimahullah memberikan fatwa:
فعليها أن تتطهر بالماء
بعد الحيض أو بعد النفاس ثم يأتيها، أما إذا كانوا في سفر أو كانت مريضة لا تستطيع
استعمال الماء أو الماء معدوم فالتيمم يقوم مقامه، تتيمم بعد الحيض وبعد النفاس ويأتيها
زوجها لأنه طهارة. بارك الله فيكم
“Maka
perempuan wajib mensucikan diri dengan air setelah haid atau setelah nifas
kemudian baru bisa disetubuhi. Akan tetapi jika mereka dalam keadaan safar atau
perempuan tersebut sedang sakit dia tidak mungkin bisa menggunakan air atau air
sedang tidak ada maka tayammum yang akan menggantikan kedudukan air. Perempuan
tersebut bertayammum setelah haidh atau nifas kemudian suaminya mendatnginya
karena dia adalah pensucian. Semoga Allah memberkahimu” Lihat disini
Dari pemaparan
diatas, maka sudah jelaslah bahwasanya menyetubuhi istri tidak boleh dilakukan
kecuali:
- Jika masa
haid sudah selesai.
- Dia telah
mensucikan diri dengan mandi atau tayammum jika tidak bisa.
Semoga
bermanfaat. Allahu a’lam.
Artikel: alamiry.net (Kajian Al Amiry)
Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di alamiry.net dengan menyertakan alamiry.net sebagai sumber artikel.
Ikuti status kami dengan menekan tombol like pada halaman FB Muhammad Abdurrahman Al Amiry , dan tombol follow pada akun Twitter @abdr_alamiry

0 komentar:
Posting Komentar