Shalat 3 Waktu Sehari-Hari Dengan Alasan Jama’? Kritik Untuk Sebuah Pondok Pesantren
Akhir-akhir ini banyak tersebar stiker yang menghimbau untuk shalat 3 waktu. Jujur saja, stiker ini sangat meresahkan ummat dan sangat tidak patut untuk diedarkan terutama yang mengedarkannya adalah sebuah pondok pesantren. Karena shalat 3 waktu ini, akan menjadi kebiasaan kaum muslimin terutama para kaum yang tamak akan dunia disebabkan slogan dan stiker yang diedarkan oleh pondok pesantren tersebut.
Mungkin pihak
pondok pesantren tersebut sudah mengklarifikasikan bahwa stiker itu maksudnya
adalah boleh menjama’ shalat dzuhur dan ashar atau maghrib dan isya karena
alasan pekerjaan seperti pegawai, sopir,
tukang becak, dan buruh tani. Tapi klarifikasi merekapun tetap tidak benar dan
tidak sesuai syari’at. Saya tidak bisa membayangkan, jika suatu saat nanti,
kebiasaan tukang becak adalah shalat 3 waktu dan selalu menjama’ shalat karena
himbauan pondok pesantren tersebut.
Mari kita
masuk ke pembahasan.
Pembahasan pertama: Apakah patut untuk menjadi kebiasaan
para pekerja seperti tukang becak,
petani, dll adalah shalat 3 waktu dengan menjama’ nya karena alasan pekerjaan?
Sebenarnya pertanyaan ini “patut ataukah
tidak” sangat mudah dijawab oleh seorang muslim yang masih ta’at kepada Allah.
Mengapa? Karena orang muslim yang ta’at, dia akan mendahulukan perkara Rabbnya
dari perkara dirinya sendiri. Tentu seorang muslim yang ta’at tidak akan lalai
dari waktu shalat hanya karena alasan pekerjaan. Sungguh malu, seorang muslim tidak
bisa menyisihkan 10 menit saja untuk
Rabbnya sedangkan Allah telah memberinya waktu 24 jam. 10 menit saja untuk
shalat dzuhur tidak bisa dia sisakan untuk Rabbnya sedangkan Allah telah
memberinya waktu 24 jam? Mana rasa syukur kita?
Kita harus
ingat.. Banyak para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menjadi
petani, pedagang, atau profesi lainnya. Tapi apakah kebiasaan mereka adalah
shalat 3 waktu alias menjama’ shalat karena alasan pekerjaan? Tentu tidak..
Mengapa? Karena mereka adalah muslim sejati yang ta’at. Taat kepada firman
Allah ta’ala:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya
shalat adalah kewajiban atas kaum mukminin yang telah ditentukan waktunya” (QS. An-Nisa:103)
Para sahabat
tidak ada yang selalu menjama’ shalat karena alasan pekerjaan. Hal itu
disebabkan, karena mereka mendahulukan agama diatas pekerjaan dan karena mereka taat kepada
firman Allah diatas. Mereka tahu bahwasanya Jibril telah mengajari rasulullah
tentang waktu-waktu shalat, dan begitu pula Rasulullah shallalalahu alaihi wa
sallam telah mengajari sahabat-sahabatnya tentang waktu shalat. Maka mereka tinggal
meletakkan waktu shalat pada tempatnya dan tidak main-main dengan syari’at.
Sangat tidak
wajar bagi seorang muslim sejati, shalatnya tidak dikerjakan pada waktunya
hanya karena alasan pekerjaan. Kemudian mencari alasan agar bisa menjama’nya.
Wahai kaum
muslimin, mari kita simak firman Allah tentang kaum mukminin yang mana
firmanNya sangat menyindir hamba-hambanya yang lalai yang ingin mencari alasan.
Allah berfirman:
رِجَالٌ لا
تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ
“Dan orang-orang yang mana perdagangan dan jual beli
tidak melalaikan mereka dari dzikir kepada Allah dan dari menegakkan
shalat dan menunaikan zakat” (QS.An-Nur 37)
Kalau kita adalah muslim sejati, apa layak bagi kita
tidak bisa melaksanakan shalat pada waktunya hanya karena menarik becak dan
menanam padi atau pekerjaan lainnya? Maka bacalah berkali-kali firman Allah
diatas agar kita tidak mudah untuk mecari-cari alasan, yang mana sejatinya hal
tersebut karena rasa malas saja.
Masih wajar
jika menjama’ shalat hanya sesekali karena kebutuhan yang sangat mendesak,
namun sangat memalukan jika selalu menjama’ shalat karena alasan pekerjaan
seperti menarik becak, dan menanam padi. Apa iya, profesi narik becak menyita
begitu banyak waktu sehingga 10 menit saja tidak bisa disisakan untuk Allah?
Apa iya, bercocok tanam menyita begitu banyak waktu sehingga tidak bisa
menyisakan 10 menit saja untuk Allah?
Justru dalam
10 menit itu, mintalah rezeki sebanyak-banyaknya kepada Allah. Karena Dialah
yang Maha pemberi rezeki. Ketika kita sudah main-main dengan perkara Allah,
maka jangan salahkan jika Allah murka. Sekarang
tinggal kita yang menentukan, apakah kita ingin menjadi muslim sejati
atau muslim yang malas hanya mencari-cari alasan??
Jangan jadikan
kebiasaanmu untuk menjama’ shalat tanpa ada udzur, hati-hatilah dari memainkan
syari’at Allah.
Patut ataukah
tidaknya menjama’ shalat karena pekerjaan sudah kita bahas. Mari sekarang kita
membahas hukumnya.
Pembahasan Kedua: Apa hukum dari menjama’ shalat itu sendiri karena alasan pekerjaan tanpa
ada udzur syari’ seperti udzur safar, udzur hujan, dan udzur keadaan yang mendesak
seperti sakit?
Jawabannya
adalah haram. Hal tersebut karena pekerjaan bukanlah sebab atau udzur untuk
menjama’ shalat. Dan ini adalah yang dipegang oleh para ulama. Syaikh Bin Baaz
rahimahullah pernah ditanya mengenai hukum menjama’ shalat karena pekerjaan.
س: أنا منتسبة إلى إحدى الدوائر، وهذه الدوائر تعمل من
الثامنة صباحا وحتى الثالثة عصرا، وأحيانا أصلي الظهر مع العصر، فكيف تنصحونني؟
Penanya: Saya
adalah seorang perempuan yang bersandar kepada sebuah perkantoran. Dan
perkantoran ini bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 3 ashar. Dan terkadang saya
menggabungkan shalat dzuhur bersama shalat ashar, maka bagaimana nasihatmu
untukku?
ج: الواجب على
المؤمن والمؤمنة أداء الصلاة في الوقت، فالعصر تؤدى في وقتها، والظهر تؤدى في
وقتها، ولا يجوز الجمع إلا من علة، كالمطر على الصحيح، وكالمرض، وكالسفر، فإذا كان
هناك علة شرعية فلا بأس بالجمع، وإلا فالواجب أن تصلى كل صلاة في وقتها: الظهر في
وقتها، والعصر في وقتها، والدراسة ليست عذرا في الجمع، فالواجب عليك، وعلى كل مسلم
وكل مسلمة أداء الصلوات في أوقاتها؛ لأن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وضحها
للأمة وبينها للأمة فعلى الأمة أن تسمع وتطيع لما بينه عليه الصلاة والسلام، وأن
تستقيم على ذلك، وألا تترخص في شيء إلا برخصة شرعية ثابتة عن رسول الله - صلى الله
عليه وسلم
Jawab: Wajib
bagi bagi orang mukmin dan mukminah agar melaksanakan shalat pada waktunya.
Maka shalat ashar dilaksanakan pada waktunya dan shalat dzuhur dilaksanakan
pada waktunya. Dan tidak boleh menjama’ shalat kecuali karena sebab yang
dibolehkan seperti hujan menurut pendapat yang shohih, sakit, dan safar. Maka
jika disana ada sebab yang syar’i maka tidak mengapa untuk menjama’ shalat,
jika tidak maka setiap shalat harus dilaksanakan pada setiap waktunya. Shalat
dzuhur dilaksanakan pada waktunya , dan shalat ashar dilakukan pada waktunya.
Dan pelajaran bukanlah udzur untuk diperbolehkan menjama’ shalat. Maka wajib
bagi setiap muslim dan muslimah untuk melaksanakan shalat pada waktu-waktunya.
Karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskannya untuk ummat
dan menerangkannya untuk ummat. Maka kewajiban ummat adalah mendengar dan ta’at
kepada apa yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
dan begitu pula ummat harus istiqamah diatasnya dan jangan mencari-cari rukhsah
sesuatu kecuali rukhsah syar’i yang telah tetap dari Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam” (Fatawa Nur Ala Ad-Darb Syaikh Bin Baz 7/25)
Bahkan Umar
bin Khattab radhiyallahu anhu pernah mewanti-wanti pekerjanya untuk tidak
bermudah-mudahan menjama’ shalat tanpa adanya udzur. Saya ulangi, Umar berkata
demikian kepada pekerjanya. Dan tentu pegawai-pegawai Umar juga sibuk bahkan
sangat sibuk. Akan tetapi mengapa Umar mewanti pegawainya untuk tidak
bermudah-mudahan dalam menjama’? Karena pekerjaan bukanlah udzur untuk menjama’
shalat. Disebutkan dalam Sunan Al-Kubra milik Imam Baihaqi:
أَنَّ عُمَرَ
بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَتَبَ إِلَى عَامِلٍ لَهُ: " ثَلَاثٌ
مِنَ الْكَبَائِرِ: الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ إِلَّا فِي عُذْرٍ،
وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ، وَالنَّهْب
Bahwasanya
Umar bin Khattab radhiyallahu anhu pernah menulis surat kepada pegawainya: “3
perkara termasuk dosa besar adalah menjama’ shalat kecuali adanya udzur, dan
lari dari peperangan, dan perampokan” HR Baihaqi
Bahkan telah
terjadi ijma’ (kesepakatan) para ulama kaum muslimin bahwasanya hukum menjama’
shalat ketika mukim (tidak safar) tanpa sebab hujan, dan kebutuhan mendesak
adalah haram.
Hak tersebut
sebagaimana yang dinyatakan oleh Abu ‘Umar Yusuf Al-Qurthubi rahimahullah dalam
Al-Istidzkar:
وَأَجْمَعَ
الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي
الْحَضَرِ لِغَيْرِ عُذْرِ الْمَطَرِ إِلَّا طَائِفَةً شَذَّتْ
“Dan para
ulama telah berijma’ bahwasanya tidak diperbolehkan menggabungkan 2 shalat
ketika mukim (tidak safar) tanpa adanya udzur hujan, kecuali sebuah kelompok
yang menyimpang (mereka membolehkan)” (Al-Istidzkar 2/211)
Ibnu Qudamah
rahimahullah juga berkata dalam Al-Mughni:
وَقَدْ
أَجْمَعْنَا عَلَى أَنَّ الْجَمْعَ لَا يَجُوزُ لِغَيْرِ عُذْرٍ
“Dan kita
telah berijma’ bahwasanya menjama’ shalat hukumnya tidak boleh tanpa adanya
udzur” (Al-Mughni 2/204)
Ketika adanya
ijma’ maka kita harus mengikuti ijma’ dan tidak boleh menyelisihinya.
Dan Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menjadikan pekerjaan sebagai udzur
untuk menjama’ shalat.
è Mungkin
ada yang bertanya, lantas bagaimana dengan perbuatan Rasulullah shallallahu
alaiahi wa sallam yang menjama’ shalat bukan karena peperangan, hujan, dan
safar? Dan perbuatan Rasul ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.
è Maka
jawabannya dari 2 sisi jawaban.
1- Jawaban pertama: Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
جَمَعَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ،
وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ، فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا مَطَر
“Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam menjama’ antara shalat dzuhur dan ashar, antara shalat maghrib dan isya di Madinah
tanpa ada waktu genting, dan tanpa adanya hujan.” (HR. Muslim)
Tapi apakah
yang dimaksud oleh Ibnu Abbas adalah Rasulullah menjama’ shalat beneran?? Atau
bukan??
Maka perlu
diketahui, bahwasanya Jama’ shalat Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
adalah jama’ shuuri dan bukan jama’ beneran. Maksudnya bagaimana? Maksudnya
adalah Rasulullah shalat dzuhur di akhir waktu dan shalat ashar di awal
waktu,maka seakan-akan Rasulullah menjama’ kedua shalat tersebut. Begitupula
Rasulullah shalat maghrib di akhir waktu dan shalat isya di awal waktu, maka
seakan-akan Rasulullah menjama’ kedua shalat tersebut padahal tidak.Beliau
tidaklah menjama’nya karena Rasul tetap melaksanakan setiap shalat pada
waktunya masing-masing. Dan hal ini dinyatakan oleh Ibnu Abbas sendiri selaku
perawi hadits yang sedang kita bahas diatas. Ibnu Abbas berkata:
صَلَّيْتُ مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَانِيًا جَمِيعًا، وَسَبْعًا
جَمِيعًا أَخَّرَ الظُّهْرَ، وَعَجَّلَ العَصْرَ، وَعَجَّلَ العِشَاءَ، وَأَخَّرَ
المَغْرِبَ
“Aku shalat
bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam 8 rakaat sekaligus dan 7 rakaat
sekaligus. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengakhirkan shalat dzuhur dan
mempercepat shalat ashar. Dan mempercepat
shalat isya dan mengakhirkan shalat maghrib” (HR.Nasa'i)
Jadi
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seakan-seakan menjama’ shalat padahal
tidak. Rasulullah tetap melaksanakan masing-masing shalat pada waktunya. Jadi
hal ini adalah jama’ shuuri dan bukan jama’ sebenarnya. “Seakan-akan Rasulullah
menjama’”.
Imam Syaukani
Rahimahullah berkata:
وَمِمَّا يَدُلّ
عَلَى تَعْيِين حَمْل حَدِيثِ الْبَابِ عَلَى الْجَمْع الصُّورِيّ مَا أَخْرَجَهُ
النَّسَائِيّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ بِلَفْظِ: «صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيّ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، وَالْمَغْرِبَ
وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا، أَخَّرَ الظُّهْر وَعَجَّلَ الْعَصْر، وَأَخَّرَ
الْمَغْرِبَ وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ» فَهَذَا ابْنُ عَبَّاسٍ رَاوِي حَدِيثِ
الْبَابِ قَدْ صَرَّحَ بِأَنَّ مَا رَوَاهُ مِنْ الْجَمْع الْمَذْكُور هُوَ
الْجَمْع الصُّورِيّ
“Dan
dari apa yang membawa hadits ini (Hadits Ibnu Abbas) kepada jama’ shuuri (bukan
jama’a beneran) adalah riwayat yang dikeluarkan oleh An-Nasa’i dari Ibnu Abbas
dengan lafadz: “Aku bersama nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat dzuhur dan
ashar sekaligus, dan maghrib isya sekaligus. Beliau mengakhirkan shalat dzuhur
dan mempercepat shalat ashar. Dan mengakhirkan shalat ashar dan mempercepat
shalat isya”. Maka ibnu Abbas ini adalah perawi hadits bab (yang sedang dibahas),
Ibnu Abbas telah memperjelas bahwasanya apa yang diriwayatkan olehnya mengenai
jama’ shalat yang disebutkan adalah jama’ shuuri” (Nail Al-Authar 2/358)
2-
Jawaban kedua: Apa kamu yakin Rasul menjama’ shalat tanpa
satu udzur pun?. Betul, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjama’ shalat
bukan karena waktu genting, begitu pula bukan karena safar, dan begitu pula
bukan karena hujan. Tapi tentu ada sebab yang lain. Hendaklah kita menyempurnakan
riwayat tersebut. Riwayatnya tersebut adalah:
جَمَعَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ،
وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ، فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا مَطَر وفي
رواية: وَلَا سَفَرٍ فقيل لابن عباس: أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ
أُمَّتِهِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjama’ antara
shalat dzuhur dan ashar, antara shalat
maghrib dan isya di Madinah tanpa ada waktu genting, dan tanpa adanya hujan.
Dalam sebuah riwayat: tanpa melakukan safar. Maka ditanya kepada Ibnu Abbas
mengenai hal itu, maka dia menjawab: Yang Nabi inginkan adalah agar tidak
memberatkan seseorang dari ummatnya”. (HR. Muslim)
Jadi, tatkala
kita sedang dalam keadaan yang berat dan mendesak, maka kita boleh untuk
menjama’ shalat karena Rasul tidak ingin memberatkan ummatnya. Akan tetapi
kalau kita tidak berada dalam keadaan yang berat dan mendesak maka tidak boleh
bagi kita untuk menjama’ shalat.
Sehingga tidak
ada satu ulamapun dari madzhab manapun yang mengisyaratkan atau menafsirkan
riwayat diatas akan bolehnya membiasakan untuk menjama’ shalat karena alasan
pekerjaan. Maka dari itu Abdurrahman bin Muhammad Al-Hanbali rahimahullah
berkata:
ودل الحديث
بفحواه على الجمع للمرض والمطر والخوف، وإنما خولف ظاهر منطوقه في الجمع لغير عذر
للإجماع، وأخبار المواقيت
“Dan hadits ini dengan kandungannya menunjukkan akan
bolehnya menjama’ shalat karena sakit, hujan dan keadaan genting. Dan
seseungguhnya berbeda dari dzahir apa yang diucapkan mengenai menjama’ shalat
tanpa ada udzur karena adanya ijma’ (keharaman menjama’ shalat tanpa ada udzur)
dan karena ada hadits-hadits tentang waktu-waktu shalat yang sudah ditentukan”
Hasyiah Ar-Raud Al-Murbi’ 2/399
Maka Jika kita
dalam keadaan terdesak seperti sakit, maka boleh bagi kita untuk menjama’
shalat sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam.
Ada sedikit
ulama yang membolehkan menjama’ shalat tanpa adanya hujan, safar, dan sakit. Tapi
mereka memberikan taqyid (pengkhususan) dan tidak memutlakkannya sebagaimana
yang dimutlakkan oleh pondok pesantren pengedar stiker himbauan shalat 3 waktu.
Taqyid tersebut adalah “Tidak menjadikan jama’ shalat sebagai kebiasaan, alias
hanya sekali-sekali saja”. Adapun himbauan shalat 3 waktu tanpa adanya taqyid,
ditakutkan orang akan bermudah-mudahan dan akan membiasakan untuk selalu
menjama’ shalat padahal hal tersebut tidaklah boleh.
Penting yang harus digaris bawahi: Bedakan keadaan mendesak dengan keadaan malas.
Jangan cari-cari
alasan untuk menyamakan antara keadaan mendesak dengan pekerjaan agar bisa
menjama shalat hanya karena rasa malas. Banyak dan sangat banyak dari pegawai
muslim atau pedagang muslim atau petani muslim yang selalu dan bisa menjaga
waktu shalatnya tanpa mencari-cari alasan. Kalau mereka saja bisa untuk
menempatkan waktu shalat pada tempatnya tanpa mencari-cari alasan, mengapa kamu
tidak bisa? Banyak waktu yang kita miliki dan apa mungkin bagi kita yang
berakal untuk mendahulukan pekerjaan dari pada perintah Allah?
Maka diakhir
pembahasan, jangan gara-gara rasa malas kita memainkan syari’at Allah ta’ala.
Karena kita akan terjatuh di dalam 2 kategori dosa: 1- Malas shalat pada
waktunya. 2- Memainkan syari’at Allah.
Allahu ta’ala a’lam,
semoga bermanfaat.
Artikel: alamiry.net (Kajian Al Amiry)
Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di alamiry.net dengan menyertakan alamiry.net sebagai sumber artikel.

izin share ustadz
BalasHapusSilahkan dishare, semoga bermanfaat buat ummat.
HapusUstadz.. Apakah benar riwayat ini adalah riwayat bukhari muslim?
BalasHapusصَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَانِيًا جَمِيعًا، وَسَبْعًا جَمِيعًا أَخَّرَ الظُّهْرَ، وَعَجَّلَ العَصْرَ، وَعَجَّلَ العِشَاءَ، وَأَخَّرَ المَغْرِبَ
“Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam 8 rakaat sekaligus dan 7 rakaat sekaligus. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengakhirkan shalat dzuhur dan mempercepat shalat ashar. Dan mempercepat shalat isya dan mengakhirkan shalat maghrib”
yang tahu keadaan terdesak kan orang per orang sendiri, kenapa ustadz ber sukdhon dg mengatakan yg menjamak adalah malas dan bermalas2an, kalau Rosul pernah berarti boleh kan? kalau sekedar berandai2 dan menurut ijma ulama, apakah yg ijma ulama seluruh pelosok dunia? kalau hasil ijma itu masa berlakunya sampai kajpan? bagaimana kalau ijma nya salah? ulama kan bukan Rosul to?
BalasHapus1- "Yang tahu keadaan terdesak kan orang per orang sendiri, kenapa ustadz ber sukdhon dg mengatakan yg menjamak adalah malas dan bermalas2an"
Hapus=======
Jawab: Yang suu'dzon siapa? Kan sudah saya bilang dalam pembahasan, kalau terdesak tidak mengapa untuk jama'. Sedangkan terdesak adalah salah satu udzur. Jadi siapa bilang ana melarang? Jadi siapa yang duudzon? Saya atau anda?
Yang dibahas di artikel adalah kalau menjama' shalat tanpa udzur.. Dan malas-malasan.
2- Kalau Rosul pernah berarti boleh kan?
======
Memang boleh, siapa yang melarang? Rasulullah menjama' shalat ketika hujan, safar, dll. Maka boleh saja. Siapa yang melarang?
Adapun ulama yang mengatakan boleh jama' tanpa udzur adalah boleh, silahkan saja anda berpendapat demikian. Boleh.. Dan tidak ada paksaan, karena ini adalah masalah furu' yang mana salah satu gak boleh maksa yang pendapat yang lain.
Tapi ada yang haarus digaris bawahi: Ulama mengatakan boleh jama' tanpa udzur dengan syarat 'BUKAN MENJADI KEBIASAAN".
Lah, lantas bagaimana dengan stiker "Shalat 3 waktu" tanpa ada taqyid "seperlunya/jangan dijadikan kebiasaa"? Mereka tidak menambah taqyid disitu. Dan itulah yang dikhawatirkan. Dan itu yang dibahas dalam artikel.
Jadi kalau belum baca artikel, jangan bicara dulu.
3- kalau sekedar berandai2 dan menurut ijma ulama, apakah yg ijma ulama seluruh pelosok dunia? kalau hasil ijma itu masa berlakunya sampai kajpan? bagaimana kalau ijma nya salah? ulama kan bukan Rosul to?
=========
Jawab: Siapa yang berandai-andai? Jelas sekali, itu ada nashnya dan bukan keluar dari khayalan saya atau perandaian saya. Untuk saretah, hendaknya jangan terlalu menuduh saya. Itu ada jelas nashnya dan bukan keluar dari perandaian yang saya miliki.
Kemudian, saya sangat tahu kalau anda belum menguasai ilmu ushul fiqh terkhususnya Bab Ijma'. Silahkan dimuroja'ah lagi dan dipelajari sebelum bicara sembarangan.
Kesimpulan: Siapa yang suudzon? Anda atau saya? Siapa yang berandai-andai? Saya atau anda?
Hadaakallah..