Apakah Muntah Itu Najis
Muntah secara
istilah bermakna:
الْخَارِجُ مِنَ الطَّعَامِ
بَعْدَ اسْتِقْرَارِهِ فِي الْمَعِدَةِ
“Makanan
yang keluar seteleh berada di dalam lambung” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 34/85)
Apakah muntah
itu najis?
Pertama: Disebutkan dalam riwayat Ad-Daruqutni:
يا عمار إنما يغسل
الثوب من خمس: من الغائط والبول والقيء والدم والمني
“Wahai Ammar, sesungguhnya
pakaian dicuci karena 5 perkara: kotoran (tahi), air seni, muntah, darah, dan
mani” (HR. Ad-Daruquthni)
Status hadits yang
diriwayatkan Ad-Daruquthni diatas adalah dho’if jiddan (sangat lemah sekali)
sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Karena di dalam sanad tersebut
terdapat Tsabit bin Hammad.
Bahkan
Ad-Daruquthni mengomentari mengenai Tsabit bin Ahmad:
ضعيف جدا
“Dia
adalah orang yang sangat lemah” (Mizan Al-I’tidal 1/363)
Ibnu Adiy
berkata:
ولثابت أحاديث يخالف
فيها وفي أسانيدها الثقات، وهى مناكير
“Dan Tsabit
memiliki hadits-hadits yang menyelisihi hadits-hadits tsiqah dan dalam sanadnya
menyelisihi rawi-rawi tsiqah. Maka hadits-hadits Tsabit adalah munkar” (Mizan
Al-I’tidal 1/363)
Imam Nawawi
berkata:
حديث عمار هذا رواه أبو يعلي الموصلي في مسنده والدارقطني
والبيهقي قال البيهقى هو حديث باطل لا أصل له وبين ضعفه الدارقطني والبيهقي
“Hadits
Ammar ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la Al-Mushili dalam musnadnya dan
Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi. Dan hadits ini adalah hadits yang bathil tidak
ada asal usulnya. Dan Ad-Daruquthni serta Al-Baihaqi mendhoifkannya” (Al-Majmu’
Syarh Al-Muhaddzab 2/549)
Maka
kesimpulannya, hadits ini sangat lemah sekali. Dan dia tidak bisa dijadikan
hujjah.
Kedua: Disebutkan dalam riwayat Abu Daud, bahwa
Abu Darda bercerita kepada Ma’dan bin Talhah:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاءَ فَأَفْطَرَ ، فَلَقِيتُ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ، فَقُلْتُ إِنَّ أَبَا
الدَّرْدَاءِ، حَدَّثَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
«قَاءَ فَأَفْطَرَ» ، قَالَ: صَدَقَ، وَأَنَا صَبَبْتُ لَهُ وَضُوءَهُ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Bahwasanya
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam muntah kemudian berbuka puasa. Maka aku
(Ma’dan bin Talhah) menjumpai Tsauban maula Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam di masjid Demaskus. Maka aku katakan padanya: Sesungguhnya Abu Darda
menceritakan kepada bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam muntah
kemudian berbuka puasa. Maka Tsauban berkata: Abu Darda benar. Dan akulah
yang menuangkan air wudhunya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam”
(HR. Abu Daud)
Status hadits
diatas adalah shohih. Al-Albani menyebutkan hadits tersebut dalam Shahih Abi
Daud (7/141)
Akan tetapi
yang perlu diketahui, hadits diatas sama sekali tidak ada yang konteks yang
mewajibkan wudhu setelah muntah. Begitupula di dalam hadits tidak ada konteks
yang menyatakan bahwa muntah membatalkan puasa.
Maka
Rasulullah membatalkan puasa setelah muntah, diakibatkan kondisi tubuh Nabi
ketika itu lemah. Sehingga nabi membatalkan puasanya bukan karena muntah
melainkan karena kondisi yang lemah. Maka dari itu Imam At-Tirmidzi berkata:
وَإِنَّمَا مَعْنَى
هَذَا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ صَائِمًا مُتَطَوِّعًا
فَقَاءَ فَضَعُفَ فَأَفْطَرَ
“Sesungguhnya maksud hadits ini adalah bahwa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam berpuasa sunnah maka nabi muntah kemudian tubuhnya
lemah maka nabi membatalkan puasanya” (Sunan At-Tirmidzi 3/89)
Maka sama halnya, nabi berwudhu setelah muntah bukan
berarti wudhu setelah muntah itu adalah suatu hal yang wajib. Dan tidak pula
menunjukkan muntah itu adalah suatu hal yang najis.
Kesimpulan: Maka muntah manusia bukanlah suatu hal yang
najis. Dan ini adalah pendapat yang dipegang oleh Imam Ibnu hazm, Asy-Syaukani,
Shiddiq Hasan Khan dan Al-Albani rahimahumullah.
Allahu a’lam.
Artikel: alamiry.net (Kajian Al Amiry)
Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di alamiry.net dengan menyertakan alamiry.net sebagai sumber artikel.

0 komentar:
Posting Komentar