Contoh Perselisihan Diantara Syaikh Al-Albani Dan Syaikh Bin Baz Serta Ketawadhu’an Mereka Dalam Menyikapi Perkara Khilafiyyah Ijtihadiyyah
Contoh ini
saya angkat kembali, agar kaum muslimin semakin bisa untuk menyikapi perkara
khilaf dengan hati yang tenang dan lapang. Contoh ini adalah sifat yang agung
dari kedua syaikh yang mulia “Syaikh Ibn Baaz” dan “Syaikh Al-Albani”
rahimahumallah.
Langsung saja,
Syaikh Al-Albani mengatakan bahwasanya
bersedekap (meletakkan kedua tangan di dada) ketika i’tidal adalah perkara bid’ah.
Sebaliknya, syaikh Ibn Baaz menyatakan bahwasanya bersedekap ketika i’tidal
adalah sunnah. Akan tetapi adakah diantara keduanya yang merasa tercela dengan
khilaf ini? Dan adakah yang merasa terhinakan dengan khilaf ini? Jawabnya
adalah “tidak ada”.
Saya disini
tidak membahas “pendapat yang terkuat”, namun yang saya bahas adalah akhlak
kemuliaan mereka berdua dalam menyikapi perkara khilaf dan saling
menghormatinya mereka terhadap yang lain. Para pembaca yang ingin melihat
pendapat syaikh Al-albani dalam hal ini bisa merujuk kembali kitab beliau “Sifat
Shalah An-Nabi hal. 198”. Dan yang ingin melihat pendapat syaikh Bin Baaz bisa
merujuk kembali “Majmu’ Fatawa Ibn Baaz
11/131)
Syaikh bin
Baaz sama sekali tidak mencela syaikh Al-Albani dengan kata-kata “sesat”. Dan
syaikh Al-Albani sama sekali tidak menyatakan syaikh Bin Baaz dengan kata-kata “Mubtadi’”.
Ketika syaikh
Al-Albani menyatakan bahwasanya amalan tersebut adalah bid’ah namun beliau
tidak menyebutkan orangnya “mubtadi’ atau ahli bid’ah” bahkan beliau menyatakan
“tidak ada dosa antara keduanya karena khilaf ini”.
Syaikh
Al-Albani rahimahullah berkata:
القصد أن المجتهد
قد يقع في البدعة لكن لا إثم بها ولا أطلق عليه اسم مبتدع ، هذا إذا خالف نصا ، يعنى
وكانت المسألة اجتهادية
“Maksudnya adalah bahwasanya seorang mujtahid terkadang
terjatuh dalam perkara bid’ah akan tetapi tidak ada dosa bagi mujtahid tersebut
karena pendapatnya. Dan saya juga tidak menyebutnya sebagai “mubtadi’”. Ini
jika mujtahid tersebut menyelisihi nash dan perkara ini adalah perkara
ijtihadiyyah”
Beliau juga berkata:
إذا كان هذا المخالف
يخالف نصا أولا: لا يجوز اتباعه، وثانيا لا نبدع القائل بخلاف النص وإن كنا نقول إن
قوله بدعة، وأنا أفرق بين أن تقول فلان وقع في الكفر وفلان كفر، وكذلك فلان وقع في
البدعة وفلان مبتدع
“Jika dia
menyelisihi nash, maka yang pertama adalah tidak boleh mengikuti pendapatnya.
Dan yang kedua adalah kita tidak membid’ahkan orang yang mengatakannya hanya
karena menyelisihi nash, walaupun kita berpendapat bahwasanya perkataan dia
adalah bid’ah. Dan saya membedakan antara perkataan “Fulan terjatuh dalam
kekufuran dan fulan telah kafir”. Dan aku juga membedakan perkataan “Fulan
terjatuh dalam perkara bid’ah dan fulan adalah mubtadi’” (Silisah Al-Huda Wa
An-Nur 850/2)
Menyikapi
khilaf yang ada, Syaikh bin Baaz rahimahullah berkata setelah mengutarakan
pendapat beliau dalam masalah hal ini:
فلا ينبغي لأحد من
المسلمين أن يتخذ من الخلاف في هذه المسألة وأشباهها وسيلة إلى النزاع والتهاجر والفرقة،
فإن ذلك لا يجوز للمسلمين، حتى ولو قيل إن القبض واجب، كما اختاره الشوكاني في (النيل)
، بل الواجب على الجميع بذل الجهود في التعاون على البر والتقوى، وإيضاح الحق بدليله،
والحرص على صفاء القلوب وسلامتها من الغل والحقد من بعضهم على بعض، كما أن الواجب الحذر
من أسباب الفرقة التهاجر لأن الله سبحانه أوجب على المسلمين أن يعتصموا بحبله جميعا
وأن لا يتفرقوا كما قال سبحانه: وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Maka tidak
layak bagi seseorang dari kaum muslimin untuk menjadikan khilaf tersebut dalam
permasalahan ini (sedekap ketika i’tidal) dan permasalahan yang semisalnya
menjadi wasilah kepada perselisihan, dan saling hajr (diam-diaman), dan
perpecahan. Sesungguhnya hal tersebut tidak boleh bagi kaum muslimin. Walaupun
dikatakan bahwasanya sedekap ketika i’tidal adalah wajib (bukan hanya sunnah)
sebagaimana yang dipilih oleh Asy-Syaukani dalam “Nail Al-Authar”, maka tetap
yang menjadi kewajiban atas seluruh kaum muslimin untuk bersemangat dalam
perkara tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, dan menjelaskan perkara yang
benar dengan dalilnya, dan semangat untuk selalu diatas jernihnya hati dan
selamatnya hati dari iri dan dengki kepada sesama. Sebagaimana yang menjadi kewajiban
atas mereka adalah berwaspada dari sebab-sebab perpecahan dan saling hajr,
karena Allah ta’ala mewajibkan seluruh kaum muslimin untuk saling berpegang
teguh dengan taliNya. Dan tidak saling berpecah belah. Sebagaimana Allah ta’ala
berfirman: “Dan berpegang teguhlah kamu semua dengan tali Allah. Dan janganlah
berpecah belah” (QS. Ali-Imran: 103)
Maka selama
diskusi ini hanya sebatas mengutarakan pendapat dan bukan mencela orangnya dan memakinya,
maka boleh dan itu baik untuk memperluas khazanah ilmu kita. Dan hal tersebut,
sudah menjadi tradisi para ulama yang terdahulu maupun yang sekarang.
Maka aneh,
jika kita memaksakan orang lain untuk memegang pendapat kita dan menahan lisan
orang lain untuk mengutarakan apa yang dia yakini dengan hujjah-hujjahnya. Karena bisa jadi kita yang salah dan mereka yang benar. Sebaliknya bisa jadi kita yang benar dan mereka yang salah. Maka tidak perlu taqlid buta dengan sebuah pendapat sehingga sempit hati untuk menerima pendapat orang lain.
Adakah dari
kita yang mengambil pelajaran dari adab mulia ini?
Artikel: alamiry.net (Kajian Al Amiry)
-----
Ingin pahala jariyah yang terus mengalir? Mari bergabung untuk menyebarkan dakwah sunnah dan dan islam yang murni bersama Kajian Al-Amiry. Kirim donasi anda ke salah satu rekening di bawah ini:
- Bank BCA No Rek 3000573069 a/n: Muhammad Abdurrahman
- Bank BNI No Rek 0360066890 a/n: Muhammad Abdurrahman
Donasi yang diberikan akan digunakan untuk kelancaran dakwah kita bersama. Dan dukungan anda insya Allah akan semakin memperkuat dakwah sunnah di atas bumi Allah.
Nb: Mohon lakukan konfirmasi ke email: webkajianalamiry@gmail.com atau ke nomor 082282012864 jika bapak/ibu telah mengirimkan donasi.

0 komentar:
Posting Komentar