Serial Fikih (1): Bersuci Dan Macam-Macam Benda Najis
Pengertian bersuci:
Kata “bersuci” diartikan oleh banyak ulama dengan
beberapa pengertian yang beragam namun dalam artian yang sama. Mungkin kita
dapat menukil pengertian bersuci dari Al-Imam Ibnu Qudamah -rahimahullah-:
رفع ما يمنع الصلاة من حدث أو نجاسة
بالماء، أو رفع حكمه بالتراب
“Menghilangkan hal-hal yang mencegah dari sahnya shalat berupa
hadats dan najis dengan menggunakan air, atau menghilangkannya dengan
debu.”(Al-Mughni 1/7)
Hadats terbagi menjadi 2: Hadats besar, dan hadats kecil.
Hadats besar dihilangkan dengan mandi wajib sedangkan hadats kecil dihilangkan
dengan berwudhu.
Adapun najis maka dihilangkan dengan mencucinya dengan air.
Adapun najis maka dihilangkan dengan mencucinya dengan air.
Hukum bersuci:
1- Pertama: Bersuci dari hadats. Selalu bersuci
dari hadats hukumnya adalah sunnah kecuali ketika hendak melakukan
amalan-amalan ibadah yang mana ‘bersuci’ adalah syarat dari sahnya ibadah
tersebut seperti shalat, maka itu menjadi wajib. Rasulullah -shallallahu alaihi
alaihi wa sallam- bersabda menganjurkan agar kita selalu menjaga wudhu:
ولن يحافظ على الوضوء إلا مؤمن
“Dan tidaklah
ada yang selalu menjaga wudhunya kecuali orang yang beriman.” (HR. Ahmad No. 22378
dan dishahihkan oleh Syu’aib Al-Arna’uth)
Dan dalil dari
wajibnya bersuci dari hadats ketika hendak melakukan shalat atau ibadah lain
yang mana bersuci adalah syarat dari ibadah tersebut adalah sabda Rasulullah
-shallallahu alaihi wa sallam-:
لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى
يتوضأ
“Allah tidak akan menerima shalat salah seorang dari kalian jika
dia berhadats sampai dia berwudhu dahulu” (HR. Bukhari No. 6954)
Sehingga kita disunnahkan untuk segera dan selalu
berwudhu ketika telah buang angin, atau buang air kecil. Dan diwajibkan kita
bersuci dari hadats ketika hendak shalat atau ketika hendak melakukan ibadah
lain yan diwajibkan untuk bersuci terlebih dahulu.
2- Kedua: Bersuci dari najis. Adapun bersegera
untuk bersuci dari benda-benda yang najis maka hukumnya adalah wajib ketika dia
mampu dan ingat. Karena ini adalah perintah dari Allah untuk nabi Muhammad
-shallallahu alaihi wa sallam- sebagaimana yang tertera dalam firmanNya:
وثيابك
فطهر
“Dan bajumu makan sucikanlah.” (QS. Al-Muddatssir: 4)
Diriwayatkan dari Ibnu Zaid -rahimahullah-, beliau
berkata tentang ayat ini:
كان المشركون لا يتطهرون، فأمره أن
يتطهر، ويطهِّر ثيابه
“Dahulu, orang-orang musyrik tidak bersuci, maka Allah
memerintahkan nabiNya untuk selalu bersuci dan dan mensucikan pakaiannya.”
(Tafsir At-Thabari: 23/12)
Al-Imam Ath-Athabari pun berkata dalam tafsir beliau:
وهذا القول الذي قاله ابن سيرين وابن
زيد في ذلك أظهر معانيه
“Dan perkataan yang disebut oleh Ibnu Sirin dan dan Ibnu Zaid
dalam hal ini adalah makna yang paling jelas.” (Tafsir Ath-Thabari 23/12)
Macam-Macam Najis:
Ada beberapa benda yang dihukumi sebagai najis dalam agama
islam, dan hal itu sebagaimana yang dinyatakan oleh dalil-dalil syar’i.
Diantaranya adalah:
1- Kotoran manusia baik tinjanya maupun air seni.
Dan hal ini sudah menjadi kesepakatan seluruh para ulama
dan ijma’ mereka bahwa kotoran manusia adalah najis. Karena nabi -shallallahu
alaihi wa sallam- memerintahkan kita untuk membersihkan dari kotoran setelah
buang air. Beliau bersabda:
إذا ذهب أحدكم إلى الغائط، فليذهب معه
بثلاثة أحجار يستطيب بهن
“Jika salah seorang dari kalian pergi untuk buang air, maka
dia harus membawa 3 batu agar dia membersihkan diri dengan batu-batu tersebut.”
(HR. Ahmad No. 25012 dinyatakan Shahih
lighairih oleh Syu’aib Al-Arna’uth)
2- Madzi dan Wadi.
Pengertian madzi, wadi, dan mani.
Sebelum membahas ini, saya ingin menyebutkan apa itu
madzi dan wadi serta mani. Karena ketiga hal ini adalah dzat yang berbeda. Dan
hukumnya juga berbeda. Secara hukum, maka madzi dan wadi adalah najis dan
ketika keluar maka wajib berwudhu. Berbeda dengan mani yang dia adalah suci dan
tidak najis, namun jika keluar dia wajib mandi besar.
- Al-Madzi adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Imam
An-Nawawi -rahimahullah-:
والمذي ماء دقيق لزج يخرج عند شهوة لا
بشهوة ولا دفق ولا يعقبه فتور وربما لا يحس بخروجه ويكون ذلك للرجل والمرأة وهو في
النساء أكثر منه في الرجال
“Dan madzi
adalah air yang bening dan kental, keluar ketika adanya syahwat namun tidak
merasakan nikmat dan mucratan, dan tidak ada keletihan setelah keluar, dan
terkadang tidak dirasakan bahwa dia telah keluar. Hal ini terjadi pada lelaki
dan wanita namun pada wanita lebih sering dari pada lelaki.” (Syarh Shahih
Muslim 3/213)
- Adapun mani
maka berbeda dengan madzi, Imam An-Nawawi juga berkata:
مني الرجل في حال الصحة أبيض ثخين
يتدفق في خروجه دفقة بعد دفقة ويخرج بشهوة ويتلذذ بخروجه وإذا خرج استعقب خروجه
فتورا ورائحة كرائحة طلع النخل ورائحة الطلع قريبة من رائحة العجين
“Mani seseorang
ketika sehat maka dia berwarna putih dan tebal, dan dia muncrat ketika keluar dengan
beberapa muncratan, dan keluar dengan syahwat dan dia merasakan nikmat ketika
mani keluar. Dan jika mani telah keluar maka setelahnya akan merasakan
keletihan dan ada bau seperti bau pohon palm dan bau pohon palm seperti baunya
adonan.” (Syarh Shahih Muslim 3/222)
- Kalau wadi
maka sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Al-Mawardi -rahimahullah-:
فأما الودي فهو كدر يخرج بعد البول
قطرة أو قطرتين وهو نجس يوجب الوضوء دون الغسل كالمذي
“Dan adapun wadi
maka dia keruh dan keluar setelah kencing dengan satu tetesan atau dua tetesan
(tidak banyak). Dan dia adalah najis yang mewajibkan kita berwudhu namun tidak
perlu mandi. Wadi seperti madzi.”
Dalil Kenajisan
madzi dan wadi:
Madzi dan wadi
adalah najis dan ini adalah ijma atau kesepakatan seluruh para ulama. Karena
Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- memerintahkan agar kita mencuci madzi
ataupun wadi ketika telah keluar.
Ali bin Abi
Thalib -radhiyallahu anhu- berkata:
كنت رجلا مذاء وكنت أستحيي أن أسأل
النبي صلى الله عليه وسلم لمكان ابنته فأمرت المقداد بن الأسود فسأله فقال: يغسل
ذكره ويتوضأ
“Aku adalah
orang yang sering mengeluarkan madzi. Namun aku malu untuk bertanya kepada
Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- karena putri beliau adalah istriku.
Maka aku perintahkan Miqdad bin Al-Aswad agar menanyakannya. Maka dia bertanya
kepada Rasulullah. Maka beliau menjawab: ‘Dia harus mencuci kemaluannya dan
berwudhu’.” (HR. Bukhari no. 132 dan Muslim no. 303)
Ibnu Abbas
-radhiyallahu anhu- berkata:
المني والودي والمذي، أما المني: فهو
الذي منه الغسل، وأما الودي والمذي فقال: اغسل ذكرك أو مذاكيرك وتوضأ وضوءك للصلاة
“Mani dan wadi
serta madzi. Adapun mani: maka dia wajib mandi ketika keluar. Adapun wadi dan
madzi, maka beliau berkata: ‘Cucilah dzakarmu dan berwudhulah sebagaimana
engkau berwudhu ketika hendak shalat.” (HR. Baihaqi no. 800; hasan sebagaimana
yang dinyatakan oleh Al-Aini)
3- Darah haid
Darah haid
adalah najis. Dan hal ini karena Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam-
memerintahkan agar darah haid segera dicuci dan dibersihkan. Asma -radhiyallahu
anha- berkata:
جاءت امرأة النبي صلى الله عليه وسلم
فقالت: أرأيت إحدانا تحيض في الثوب، كيف تصنع؟ قال: تحته، ثم تقرصه بالماء،
وتنضحه، وتصلي فيه
“Ada seorang
wanita datang kepada nabi -shallallahu alaihi wa sallam- seraya berkata: ‘Bagaimana
jika salah seorang dari kami bajunya terkena darah haid, apa yang harus dia
perbuat?’ Maka Rasulullah bersabda: “Dia kerik-kerik kemudian dia kucek-kucek
menggunakan air, kemudian dia percikkan lagi dengan air. Kemudian dia boleh
shalat dengan bajunya.” (HR. Bukhari no. 227 dan Muslim no. 291)
4- Kotoran
hewan yang haram untuk dimakan
Hal ini
sebagaimana yang ada pada hadits Ibnu Mas’ud. Beliau berkata:
أراد النبي صلى الله عليه وسلم أن يتبرز
فقال: ائتني بثلاثة أحجار. فوجدت له حجرين وروثة حمار، فأمسك الحجرين وطرح الروثة،
وقال: هي رجس
"Ketika itu
Nabi shallallahu alaihi wa sallam hendak buang air. Maka beliau bersabda:
'Bawakah 3 batu untukku'. Maka aku mendapatkan 2 batu dan 1 kotoran keledai
(kotoran keledai jinak yang sudang mengeras). Maka beliau ambil 2 batu dan
membuang kotoran tersebut seraya berkata: 'Itu adalah najis'. (HR. Ibnu
Khuzaimah No. 70; shahih sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Aini)
Keledai jinak
adalah suci namun dia haram untuk dimakan. Ketika dia haram dimakan, maka
kotorannyapun menjadi najis.
5- Air liur
anjing
Hal tersebut
sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam-:
طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب، أن
يغسله سبع مرات أولاهن بالتراب
“Wadah kalian
menjadi suci jika dijilat oleh anjing ketika kalian mencucinya sebanyak 7 kali,
pertamanya dengan tanah.” (HR. Muslim no. 279)
6- Babi
Allah ta’ala
berfirman:
قل لا أجد في ما أوحي إلي محرما على
طاعم يطعمه إلا أن يكون ميتة أو دما مسفوحا أو لحم خنزير فإنه رجس
“Katakanlah: ‘Aku
tidak pernah mendapatkan dari apa yang diwahyukan kepadaku suatu hal yang haram
untuk orang yang hendak memakannya kecuali dia adalah bangkai, atau darah yang
mengalir, atau daging babi. Sesungguhnya itu semua adalah najis.” (QS. Al-An’am:
145)
7- Bangkai
(Mayyitah)
Bangkai yang
dimaksud di sini adalah semua hewan yang mati tanpa disembelih dahulu. Maka itu
semua termasuk bangkai atau mayyitah. Jadi walau seekor sapi mati dengan
setruman listrik dan tidak disembelih, maka dia termasuk bangkai yang Allah
haramkan dan itu menjadi najis.
Dalil kenajisan
bangkai sudah kita sebutkan pada dalil yang sama mengenai kenajisan babi. Dan
ada dalil lain yang menunjukkan bahwa bangkai adalah najis sebagaimana yang
disabdakan oleh Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam-:
إذا دبغ الإهاب فقد طهر
“Jika kulit
bangkai telah disamak maka dia sudah menjadi suci.” (HR. Muslim no. 366)
Namun ada
jenis bangkai yang tidak najis. Yaitu:
- Bangkai ikan,
dan belalang. Hal tersebut sebagaimana sabda Rasulullah-shallallahu alaihi wa
sallam-:
أحلت لنا ميتتان، ودمان. فأما
الميتتان: فالحوت والجراد، وأما الدمان: فالكبد والطحال
“Dihalalkan
untuk kita 2 bangkai dan 2 darah. Adapun 2 bangkai adalah bangkai ikan dan
belalang. Adapun 2 darah maka hati dan limpa.” (HR. Ahmad no. 5723; hasan sebagaimana
yang dinyatakan oleh Syu’aib Al-Arnauth)
- Bangkai hewan yang
tidak memiliki darah yang mengalir. Seperti lalat, semut, atau lebah. Hal
tersebut karena Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- telah bersabda:
إذا وقع الذباب في شراب أحدكم فليغمسه
ثم لينزعه، فإن في إحدى جناحيه داء والأخرى شفاء
“Jika
seekor lalat jatuh ke dalam minuman kalian, maka hendaknya dia mencelupkan
lalat tersebut kemudian dia buang lalat itu. Karena pada salah satu sayap lalat
terdapat penyakit dan pada sayap yang lain terdapat penawarnya.” (HR. Bukhari
no. 5782)
Seandainya
bangkai lalat adalah najis, maka tentu Rasulullah -shallallahu alaihi wa
sallam- tidak akan mungkin memerintahkan untuk mencelupkan lalat.
- Tulang hewan
yang sudah menjadi bangkai, atau tanduknya, atau bulunya. Hal tersebut
sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Az-Zuhri (seorang tabi’in) -rahimahullah-
mengenai tulang hwan yang sudah menjadi bangkai seperti gajah dan semisalnya:
أدركت ناسا من سلف العلماء، يمتشطون
بها، ويدهنون فيها، لا يرون به بأسا
“Aku mendapati
para ulama terdahulu (para sahabat), mereka bersisir dengannya dan meletakkan
minyak di dalamnya, mereka menyatakan itu tidak mengapa.” (HR. Bukhari 1/56)
Insya Allah akan
kita lanjutkan Serial Fikih ini di waktu
mendatang, wa shallallahu alaa nabiyyinaa Muhammad.
Penulis: Ustadz
Abdurrahman Al-Amiry
Artikel:
alamiry.net (Kajian Al-Amiry)
----------
Ingin pahala
jariyah? Mari berinfak untuk pengembangan dakwah Kajian Al-Amiry melalui
rekening:
BNI Syariah: 0605588960 a.n Yayasan Kajian Al Amiry (Kode bank: 009)
Anda
diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel
yang ada di alamiry.net dengan menyertakan alamiry.net sebagai sumber artikel.

0 komentar:
Posting Komentar