Serial Fikih (2): Apakah Mani Najis?
Dalam masalah hal ini, terdapat sebuah riwayat dari
Aisyah -radhiyallahu anha- tentang mani:
ولقد رأيتني أفركه من ثوب رسول الله
صلى الله عليه وسلم فركا فيصلي فيه
“Dan aku pernah mengerik mani dari baju Rasulullah
-shallallahu alaihi wa sallam- maka beliau shalat menggunakan baju tersebut.”
(HR. Muslim no. 288)
Maka dengan hadits ini, para ulama mengambil kesimpulan
bahwa mani adalah suci dan bukanlah najis. Ini adalah madzhab Syafi’i,
Hanbali, dan Dzahiri.
Mereka berhujjah seandainya mani adalah najis, maka tentu
Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- tidak akan mungkin shalat menggunakan
baju yang terkena najis dan belum dicuci dengan air dan hanya dikerik-kerik
saja.
Benar bahwa di lain kesempatan, Aisyah pernah juga mencuci
pakaian Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- yang terkena air mani. Seperti
dalam riwayat Bukhari:
كنت أغسله من ثوب رسول الله صلى الله
عليه وسلم، فيخرج إلى الصلاة، وأثر الغسل في ثوبه
“Aku pernah
mencuci mani dari pakaian Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam-, maka
beliau keluar untuk shalat sedangkan bekas air cucian masih ada di pakaian
beliau.” (HR. Bukhari No. 230)
Namun, hadits Aisyah yang mencuci pakaian Rasulullah yang
terkena mani tidaklah menjadi dalil akan kenajisan mani. Karena ketika
Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- pernah shalat dengan baju yang
terkena mani namun belum dicuci dan hanya dikerik saja, itulah yang menunjukkan
bahwa mani itu suci, namun mencuci pakaian tersebut dengan air menjadi lebih
sempurna dan lebih bersih.
Sama halnya dengan dahak, ingus, atau ludah. Ketika
pakaian kita terkena ludah, kemudian kita mengerikkannya saja dan tanpa dicuci maka
hal tersebut boleh bagi kita untuk shalat menggunakan pakaian tersebut. Namun
mencucinya lebih sempurna.
Jadi, mani itu suci tapi kotor, kedudukannya seperti
dahak, ingus, maupun ludah. Sehingga lebih sempurna bagi kita untuk mencucinya.
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata:
المني بمنزلة المخاط، فأمطه عنك ولو
بإذخرة
“Mani seperti ingus, maka bersihkanlah dia dari dirimu
walau dengan sebuah ranting.” (HR. Tirmidzi 1/178)
Baca juga:
Mungkin kita dapat mengambil perkataan Ibnu Hajar
Al-Asqalani (ulama besar madzhab Syafi’i) -rahimahullah- dalam masalah ini, bagaimana kita
menggabungkan kedua hadits di atas:
وليس بين حديث الغسل وحديث الفرك تعارض
لأن الجمع بينهما واضح على القول بطهارة المني بأن يحمل الغسل على الاستحباب
للتنظيف لا على الوجوب وهذه طريقة الشافعي وأحمد وأصحاب الحديث وهذه الطريقة أرجح
لأن فيها العمل بالخبر والقياس معا
“Dan tidak ada pertentangan antara hadits mencuci mani
dan hadits yang hanya mengeriknya saja. Karena menggabungkan kedua hadits itu
jelas akan kesucian mani dengan cara membawa hadits pencucian kepada anjuran,
sehingga lebih bersih dan bukan karena hal itu wajib. Dan inilah cara Syafi’i
dan Ahmad serta ulama hadits menggabungkan kedua hadits ini. Dan cara ini lebih
rajih (benar) karena dengan cara ini kita mengamalkan hadits dan qiyas secara
bersamaan.” (Fath Al-Baari 1/333)
Semoga yang sedikit ini bermanfaat, wa shallallahu alaa
nabiyyinaa Muhammad.
Penulis: Ustadz
Abdurrahman Al-Amiry
Artikel:
alamiry.net (Kajian Al-Amiry)
----------
Ingin pahala
jariyah? Mari berinfak untuk pengembangan dakwah Kajian Al-Amiry melalui
rekening:
BNI Syariah: 0605588960 a.n Yayasan Kajian Al Amiry (Kode bank: 009)
Anda
diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel
yang ada di alamiry.net dengan menyertakan alamiry.net sebagai sumber artikel.

0 komentar:
Posting Komentar