Abdurrahman Al-Amiry

Abdurrahman Al-Amiry

Abdurrahman Al-Amiry

Abdurrahman Al-Amiry

Abdurrahman Al-Amiry

Senin, 22 Juli 2024

Menjawab Syubhat Bolehnya Berdoa Dan Meminta Kepada Para Wali Di Kuburan


Terdapat sebuah syubhat terkenal yang sering diangkat dalam pembelaan terhadap keyakinan kuburiyyun yang meminta pertolongan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Inti dari syubhat ini adalah bahwa tidak ada larangan untuk berdoa kepada para wali di kuburan tanpa niat menyembah. Yang dilarang adalah jika meminta pertolongan kepada nabi-nabi dan wali-wali di kuburan dengan meyakini bahwa wali tersebut memiliki kekuasaan independen dalam mencipta dan mengatur alam. Jika keyakinan ini tidak ada, dan jika mereka hanya berdoa kepada wali tersebut sebatas meyakini bahwa wali tersebut sekadar perantara menuju Allah, maka meminta dan berdoa kepada mereka bukanlah merupakan ibadah dan tidak termasuk perbuatan syirik, baik sedikit maupun banyak, menurut klaim mereka.

Jawaban atas syubhat ini dari beberapa point:

Point Pertama: Bahwa ini sudah dijelaskan dalam banyak nash yang menyebutkan bahwa kaum musyrikin terdahulu mengakui keesaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam mencipta, bahwa Dialah yang memiliki langit dan bumi, dan bahwa Dialah satu-satunya yang mengatur segala urusan. Patung-patung yang mereka sembah tidak lain hanyalah perantara yang mereka harapkan syafaatnya di sisi Allah. Mereka yakin bahwa patung-patung tersebut tidak memiliki kekuasaan atau kemampuan dalam penciptaan dan pengaturan apapun. Namun Allah tetap menyebut mereka sebagai musyrikin disebabkan mereka sujud dan meminta kepada patung walau dengan keyakinan bahwa yang mengabulkan hanyalah Allah.

Dalil dalam Al-Quran yang menjelaskan hal ini sangat banyak, di antaranya:

Pertama:  Pemberitaan tentang jawaban kaum musyrikin yang tegas ketika mereka ditanya tentang siapa pencipta langit dan bumi, dan pengatur segala urusan. Mereka menjawab bahwa itu semua adalah Allah Subhanahu Wa Ta'ala semata. Hal ini menunjukkan bahwa keyakinan mereka hanya mengesakan Allah dalam hal ini. Namun demikian, Allah tetap menyebut perbuatan mereka yang mempersembahkan sebagian ibadah kepada berhala-berhala itu sebagai penyembahan dan kemusyrikan.

Di antara dalil-dalinya adalah:

Firman Allah ta’ala:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

"Katakanlah, 'Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang memiliki pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?' Maka mereka akan menjawab, 'Allah.' Maka katakanlah, 'Mengapa kamu tidak bertakwa?'" (QS. Yunus: 31)

Firman Allah ta’ala:

قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (84) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (85) قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (86) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ (87) قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (88) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ

"Katakanlah, 'Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya, jika kamu mengetahui?' Mereka akan menjawab, 'Kepunyaan Allah.' Katakanlah, 'Maka apakah kamu tidak ingat?' Katakanlah, 'Siapakah Tuhan yang mempunyai langit yang tujuh dan Tuhan yang mempunyai Arasy yang besar?' Mereka akan menjawab, 'Kepunyaan Allah.' Katakanlah, 'Maka apakah kamu tidak bertakwa?' Katakanlah, 'Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?' Mereka akan menjawab, 'Kepunyaan Allah.' Katakanlah, '(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?'" (QS. Al-Mu’minun: 84-89)

Firman Allah ta’ala:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ (61) اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (62) وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

"Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi, dan menundukkan matahari dan bulan?' Tentu mereka akan menjawab, 'Allah.' Maka mengapa mereka (bisa) dipalingkan (dari jalan yang benar)? Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkannya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, 'Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya?' Tentu mereka akan menjawab, 'Allah.' Katakanlah, 'Segala puji bagi Allah,' tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya)." (QS. Al-Ankabut: 61-63)

Ayat-ayat di atas dan ayat lainnya yang sangat banyak menunjukkan pengakuan kaum musyrikin terhadap keesaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam mencipta, memiliki, dan mengatur. Mereka tidak meyakini bahwa berhala-berhala mereka memiliki kekuasaan independen dalam mempengaruhi apapun, tetapi Allah tetap menyebut mereka sebagai kaum musyrikin.

Kedua: Orang-orang musyrik mengakui bahwa penyembahan mereka kepada wali-wali selain Allah adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari syafaat di sisi-Nya. Mereka tidak meyakini bahwa wali-wali tersebut memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mempengaruhi secara mandiri.

Dalil-dalil yang mendukung hal ini adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى

"Dan orang-orang yang menjadikan wali dari selain Allah, mereka berkata: 'Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.'" (Az-Zumar: 3)

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

"Dan mereka menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat mendatangkan mudarat kepada mereka dan tidak (pula) memberi manfaat, dan mereka berkata: '(Mereka) itu adalah hanyalah pemberi syafaat kami di sisi Allah.' Katakanlah: 'Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?' Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (itu)." (Yunus: 18)

فَلَوْلَا نَصَرَهُمُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ قُرْبَانًا آلِهَةً بَلْ ضَلُّوا عَنْهُمْ وَذَلِكَ إِفْكُهُمْ وَمَا كَانُوا يَفْتَرُونَ

"Maka mengapa mereka yang mereka jadikan sebagai tuhan-tuhan (untuk mendekatkan diri kepada Allah) sebagai korban tidak menolong mereka? Bahkan tuhan-tuhan itu telah lenyap dari mereka. Dan itulah kebohongan mereka dan apa yang mereka ada-adakan." (Al-Ahqaf: 28)

Jadi, apa perbedaan antara orang-orang musyrik terdahulu yang diceritakan oleh Allah dengan orang-orang jatuh dalam kemusyrikan di zaman kita? Orang-orang terdahulu tidak mengakui bahwa berhala-berhala mereka memiliki kekuasaan dan manfaat secara independent. Meski begitu, Allah tetap menyebut mereka sebagai orang-orang musyrik. Orang-orang pada zaman kita yang jatuh dalam kemusyrikan mengatakan bahwa mereka tahu bahwa para wali tidak memiliki kekuasaan secara independen, namun pada faktanya mereka memiliki sifat yang sama dengan orang-orang yang diceritakan Allah dalam ayat-ayat di atas.

Jika dikatakan: Orang-orang terdahulu tidak mengakui kerasulan Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam, meskipun mereka mengakui keesaan Allah, sedangkan orang-orang pada zaman kita mengakui kerasulan Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam sebagaimana mereka mengakui keesaan Allah.

Jawabannya: Orang-orang yang berdoa kepada para wali di kubur telah menolak risalah dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam. Yang mana beliau bersabda:

من قال: لا إله إلا الله مخلصًا من قلبه دخل الجنة

 "Barang siapa yang mengucapkan 'Laa ilaaha illallah' dengan ikhlas dari hatinya, maka dia akan masuk surga." (HR. Ahmad no 22484; Shahih)

Orang-orang pada zaman kita yang jatuh dalam kemusyrikan, meskipun mereka mengucapkan 'Laa ilaaha illallah', mereka tidak mengucapkannya dengan ikhlas; karena keikhlasan dalam mengucapkan kalimat tersebut adalah meyakini bahwa tidak ada yang dapat membawa kebaikan atau menolak bahaya - baik secara langsung ataupun tidak langsung - kecuali Allah saja.

Dan membenarkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah beriman dengan semua yang dia ucapkan, dan salah satu yang beliau ucapkan adalah: tidak meminta kepada orang yang sudah meninggal. Karena itu adalah sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh Allah.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

ولهذا ‌لما ‌نُبِّهَ من نُبِّهَ من فُضَلَائِهِم على ذلك تنبَّهُوا، وعلِمُوا أنَّ ما كانوا عليه ليس من دين الإسلام، بل هو مشابهة لعباد الأصنام

"Dan oleh karena itu, ketika orang yang terhormat dari kalangan mereka diingatkan akan hal itu, mereka menyadarinya, dan mereka tahu bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah dari agama Islam, melainkan mirip dengan penyembahan berhala."

Ketiga: Orang-orang musyrik, ketika menghadapi bahaya besar, hanya berdoa kepada Allah saja, dan meninggalkan segala apa yang mereka sembah selain Allah. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mengakui keesaan Allah dalam memberikan manfaat dan menolak bahaya.

Dalil-dalil yang menunjukkan hal ini antara lain:

هُوَ الَّذِي يُسَيِّرُكُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ حَتَّى إِذَا كُنْتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِمْ بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُوا بِهَا جَاءَتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَجَاءَهُمُ الْمَوْجُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنْجَيْتَنَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ

"Dia-lah yang menjadikan kamu dapat berjalan di darat dan di laut. Hingga apabila kamu berada di dalam kapal, dan meluncurlah kapal-kapal itu membawa mereka dengan tiupan angin yang baik dan mereka bergembira karenanya, tiba-tiba datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segala penjuru menerpa mereka, dan mereka mengira bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan tulus ikhlas semata-mata hanya untuk-Nya. (Mereka berkata): 'Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari (bahaya) ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.'" (Yunus: 22)

وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الْإِنْسَانُ كَفُورًا (67) أَفَأَمِنْتُمْ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمْ جَانِبَ الْبَرِّ أَوْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا ثُمَّ لَا تَجِدُوا لَكُمْ وَكِيلًا (68) أَمْ أَمِنْتُمْ أَنْ يُعِيدَكُمْ فِيهِ تَارَةً أُخْرَى فَيُرْسِلَ عَلَيْكُمْ قَاصِفًا مِنَ الرِّيحِ فَيُغْرِقَكُمْ بِمَا كَفَرْتُمْ ثُمَّ لَا تَجِدُوا لَكُمْ عَلَيْنَا بِهِ تَبِيعًا

"Dan apabila kamu ditimpa bahaya di laut, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia (Allah). Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih. Apakah kamu merasa aman bahwa Dia tidak akan membuat kamu terperosok di sisi daratan atau mengirimkan kepada kamu angin yang berbatu, kemudian kamu tidak akan mendapatkan seorang pelindung pun untuk kamu? Atau apakah kamu merasa aman bahwa Dia tidak akan mengembalikan kamu ke laut sekali lagi, lalu mengirimkan kepada kamu angin topan yang memecahkan kamu karena kekafiran kamu, kemudian kamu tidak akan menemukan seorang penuntut pun terhadap Kami?" (Al-Isra: 67-69)

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

"Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (tidak berbuat syirik); maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)." (Al-Ankabut: 65)

وَإِذَا غَشِيَهُمْ مَوْجٌ كَالظُّلَلِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ فَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا كُلُّ خَتَّارٍ كَفُورٍ

"Dan apabila mereka diliputi oleh gelombang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan tulus ikhlas kepada-Nya (tidak berbuat syirik). Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan, maka sebagian dari mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang sangat khianat dan sangat ingkar (kafir)." (Luqman: 32)

Point kedua: Dalam kitab-kitab fiqh, banyak dijelaskan bahwa beberapa tindakan seperti sujud kepada berhala atau menyerahkan nazar kepada selain Allah adalah syirik meskipun pelakunya tidak meyakini wali tersebut sebagai tuhan, walaupun ia hanya meyakini bahwa berhala itu hanyalah wasilah atau perantara saja. Contohnya:

1. Imam Al-Haramain Al-Juwaini berkata:

الأفعال إذا دلت على الكفر كانت كالأقوال، وذلك إذا رأينا من كنا نعرفه مسلمًا في بيت الأصنام، وهو يتواضع لها تواضعَ العبادة، فهذه عبادة كفر، وقد يُجري الأصوليون الأفعال المتضمنة استهانة عظيمة مجرى عبادة الأصنام، كطرح المصحف في الأماكن القذرة، وما في معناه، والقول في ذلك يطول، وهو من صناعة الأصول

"Perbuatan-perbuatan yang menunjukkan kepada kekafiran, maka hukumnya sama dengan mengucapkan hal tersebut, maksudnya jika kita melihat seseorang yang kita kenal sebagai seorang Muslim ternyata ia berada di dalam rumah berhala, dan dia merendahkan diri kepada berhala itu dengan ketundukan ibadah, maka ini adalah ibadah kekufuran. Para ahli ushul juga menganggap perbuatan yang menunjukkan ketundukan besar kepada makhluk sama seperti menyembah kepada berhala, seperti melempar mushaf ke tempat yang kotor, dan yang sejenisnya. Pembahasan ini panjang dan termasuk ke dalam ilmu ushul." (Nihayatul Matlab fi Dirayatil Mazhab 17/ 162)

2. Imam Al-Ghazali berkata:

وأما نفس الردة فهو نطق بكلمة الكفر استهزاء أو اعتقادا أو عنادا، ومن الأفعال عبادة الصنم والسجود للشمس، وكذلك إلقاء المصحف في القاذورات، وكل فعل هو صريح في الاستهزاء بالدين، وكذلك الساحر يقتل إن كان ما سحر به كفرا، بأن كان فيه عبادة شمس، أو ما يضاهيه

"Adapun murtad, maka ia terjadi dengan mengucapkan kata-kata kufur dengan maksud menghina atau dengan meyakininya atau dengan cara mengingkari islam. Di antara perbuatan-perbuatan murtad adalah menyembah berhala, sujud kepada matahari, serta melempar mushaf ke tempat yang kotor, dan setiap perbuatan yang secara jelas menghina agama. Demikian juga tukang sihir dihukum mati jika sihirnya mengandung kekufuran, seperti menyembah matahari atau yang sejenisnya." (Al-Washiit 6/425)

Ia juga berkata:

الردة وهي: عبارة عن قطع الإسلام من مكلف، إما بفعل كالسجود للصنم، وعبادة الشمس، وإلقاء المصحف في القاذورات، وكل فعل صريح في الاستهزاء

“Dan perbuatan murtad adalah terputusnya islam dari seorang yang sudah mukallaf. Seperti sujud untuk patung atau menyembah matahari. Dan mencampakkan mushaf ke tempat yang kotor. Dan semua perbuatan yang jelas dalam menghinakan islam” (Al-Aziz Fii Syarh Al-Wajiz 11/ 97)

3. Imam An-Nawawi dalam Kitab Ar-Riddah berkata:

هي قطع الإسلام، ويحصل ذلك تارة بالقول الذي هو كفر، وتارة بالفعل، والأفعال الموجبة للكفر هي التي تصدر عن تعمد واستهزاء بالدين صريح، كالسجود للصنم، أو للشمس، وإلقاء المصحف في القاذورات، والسحر الذي فيه عبادة الشمس ونحوها

"Murtad adalah memutuskan Islam, dan hal itu bisa terjadi dengan ucapan yang kufur atau dengan perbuatan. Perbuatan yang menyebabkan kekufuran adalah yang dilakukan dengan sengaja dan jelas-jelas menghina agama, seperti sujud kepada berhala atau matahari, serta melempar mushaf ke tempat yang kotor, dan sihir yang mengandung penyembahan matahari atau yang sejenisnya." (Rawdatut Talibin wa 'Umdatul Muftin 10/64)

4. Imam Zakariya Al-Ansari berkata:

الردة هي: قطع الإسلام بكفر عزما، أو قولا، أو فعلا، استهزاء، أو عنادا، أو اعتقادا، كنفي الصانع (الخالق)، أو نبي، أو تكذيبه، أو جحد مجمعٍ عليه معلوم من الدين ضرورة بلا عذر، أو تردد في كفر، أو إلقاء مصحف بقاذورة، أو سجود لمخلوق

"Murtad adalah memutuskan Islam dengan kekafiran secara sengaja, atau dengan ucapan, atau dengan perbuatan, baik dengan maksud menghina, membangkang, atau meyakininya, seperti meniadakan sang pencipta (Allah), atau nabi, atau mendustakan nabi, atau menolak hal yang sudah disepakati yang diketahui secara pasti sebagai bagian dari agama atau meragukan dalam perbuatan kekufuran, atau melempar mushaf ke tempat yang kotor, atau sujud kepada makhluk." (Minhaj At-Thullab hal. 158)

5. Ibnu Al-Muqri berkata:

الردة: كفر مسلم مكلف بنية، أو فعل، أو قول، باعتقاد، أو عناد، أو استهزاء ظاهر، كطرح مصحف بقذر، وسجود لمخلوق

"Murtad adalah kekafiran seorang Muslim yang mukallaf dengan niat, atau perbuatan, atau ucapan, dengan keyakinan, atau pengingkaran, atau penghinaan yang nyata, seperti melempar mushaf ke tempat yang kotor, atau sujud kepada makhluk."(Fath Al-Jawwad 3/ 353)

6. Imam Al-Rafi'i dalam Al-Syarh al-Kabir menukil dari Hanafiyah bahwa seseorang yang menghormati berhala dengan sujud atau mendekatkan diri kepadanya dengan penyembelihan atas Namanya, maka dianggap kafir. Dan ini disetujui oleh Imam An-Nawawi. (Ar-Raudhah 10/ 65)

7. Imam An-Nawawi dalam Al-Shifa karya Qadhi 'Iyadh menukil bahwa:

وكذا نكفر من فعل فعلا أجمع المسلمون أنه لا يصدر إلا من كافر، وإن كان صاحبه مصرحا بالإسلام مع فعله، كالسجود للصليب أو النار

"Demikian pula, kami mengkafirkan siapa saja yang melakukan perbuatan yang disepakati oleh seluruh umat Muslim bahwa perbuatan tersebut hanya dilakukan oleh seorang kafir, meskipun pelakunya menyatakan keislaman, seperti sujud kepada salib atau api." (Ar-Raudhah 10/71)

Pendapat-pendapat di atas adalah contoh dari beberapa ulama yang dihormati oleh para pengangkat syubhat ini, dan pendapat serupa juga terdapat dalam kitab-kitab mazhab lainnya, yang menyatakan bahwa seseorang menjadi kafir hanya dengan sujud kepada berhala tanpa harus meyakini bahwa berhala tersebut memiliki kekuasaan rububiyah independent ataukah tidak.

Point ketiga: Banyak dari mereka yang mengklaim bahwa tindakan mereka hanya sebagai perantara dan syafaat di sisi Allah Subhanahu Wa Ta'ala, tanpa adanya keyakinan bahwa orang-orang mati memiliki kekuasaan untuk mengatur alam semesta. Namun, kenyataannya berbeda.

Penjelasan sebelumnya menunjukkan bahwa klaim mereka tidak benar. Banyak dari mereka yang berdoa kepada orang mati sebenarnya meyakini bahwa orang-orang mati tersebut memiliki kekuasaan untuk mengatur alam semesta dan urusannya. Mereka percaya bahwa orang mati bisa menghidupkan dan mematikan, memiskinkan dan memperkaya, serta melakukan hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Bahkan, ada yang meyakini bahwa beberapa wali memiliki kemampuan "Kun fayakun" (jadilah, maka jadilah). Ini menunjukkan bahwa penyimpangan dalam tauhid uluhiyah menyebabkan penyimpangan dalam tauhid rububiyah.

Jika kita memperhatikan kitab-kitab para ahli bid'ah, kita akan menemukan bahwa mereka secara terang-terangan mengucapkan dan menunjukkan keyakinan bahwa para wali memiliki pengaruh dan kekuasaan dalam alam semesta, masing-masing sesuai dengan derajatnya.

Contoh dari klaim mereka tersebut:

1. Dalam biografi Alawi bin Faqih, disebutkan:

وحُكي أن الشيخ عبد الله باعباد سأل صاحب الترجمة عما ظهر له من المكاشفات بعد موت والده فقال: ظهر لي ثلاث: أحيي وأميت بإذن الله، وأقول للشيء: كن فيكون، وأعرف ما سيكون، فقال الشيخ عبد الله: نرجو فيك أكثر من هذا

 "Diriwayatkan bahwa Syaikh Abdullah Ba'abad bertanya kepada Alawi bin Faqih tentang penampakan yang muncul setelah wafat ayahnya. Dia menjawab: 'Tiga hal yang muncul: Saya menghidupkan dan mematikan dengan izin Allah, saya mengatakan pada sesuatu 'jadilah', maka jadilah, dan saya mengetahui apa yang akan terjadi.' Syaikh Abdullah berkata: 'Kami berharap padamu lebih dari ini.'" (Al-Masyra’ 2/ 211)

2. Mereka menganggap ini sebagai kelebihan sehingga penulis “An-Nur as-Safir” berkata tentangnya: "Dia mengatakan pada sesuatu 'jadilah', maka jadilah dengan izin Allah." (Al-Masyra’ 2/ 281)

3. Penulis “Tadzkirun Nas” berkata:

«قال سيدي: وزرنا مرة تربة الفريط بتريم نحن والأخ حامد بن أحمد المحضار، ولما كنا عند الشيخ القرشي صاحب الذرية أخذ الأخ حامد حصاة كبيرة ووضعها عند قبر الشيخ وقال -والحاضرون يسمعون-: شف نحنا نبغي ولدًا لفاطمة عبوده بنت عبد الله بن عمر القعيطي، وكانت مسنة في ذلك الوقت ومستبعدٌ أن تحمل، فقدّر الله أنها حملت بولد وعاش

"Syaikhku berkata: Suatu kali kami mengunjungi makam Al-Furait di Tarim bersama saudara Hamid bin Ahmad al-Mahdar. Ketika kami berada di makam Syaikh al-Qurashi, Hamid mengambil sebuah batu besar dan meletakkannya di dekat kubur syaikh sambil berkata -dengan disaksikan oleh orang-orang yang hadir: 'Lihat, kami menginginkan seorang anak untuk Fatimah Abudah binti Abdullah bin Umar al-Qaiti.' Fatimah saat itu sudah tua dan kecil kemungkinannya untuk hamil. Namun, Allah menakdirkan dia hamil dan melahirkan seorang anak. Dan anak tersebut hidup"

4. Penutur kisah ini adalah salah satu tokoh besar kaum mereka dan ulama mereka, dan ia meriwayatkan kisah ini dengan mengakuinya. Hamid al-Mahdar juga merupakan salah satu tokoh besar mereka, dan dia mengangkat suaranya untuk meminta hal tersebut di hadapan umum, dan para tokoh yang hadir mengakui hal itu. Jadi, ini adalah masalah yang diterima dan mereka mengajarkan kepada para pengikutnya.

Jika hal ini diucapkan oleh mereka yang dianggap sebagai ahli ilmu di antara mereka, maka bagaimana dengan kalangan awam mereka yang tenggelam dalam kebodohan mereka? Oleh karena itu, Anda akan melihat mereka semakin menghadapi kesulitan, maka mereka semakin memperbanyak permintaan kepada para wali tersebut, karena dorongan keyakinan mereka bahwa para wali tersebut dapat mendatangkan manfaat dan menolak bahaya serta menghilangkan kesulitan. Berbeda dengan kaum jahiliyah terdahulu yang hanya menganggap tuhan-tuhan mereka sebagai perantara dan pemberi syafaat tanpa memiliki kekuasaan dalam pengaturan alam semesta. Mereka meyakini bahwa semua itu berada di tangan Allah Subhanahu Wa Ta'ala semata. Oleh karena itu, ketika mereka menghadapi bahaya, mereka berdoa kepada yang mereka yakini memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengelola semua urusan, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Kesimpulan: Larangan untuk berdoa kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala bukan hanya karena keyakinan akan ketuhanan pihak yang dimintai, tetapi tindakan itu sendiri adalah bentuk kemusyrikan. Keyakinan bahwa hanya Allah yang memiliki kekuasaan tidak cukup jika disertai tindakan yang menyiratkan penyembahan kepada selain-Nya. Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam Al-Qur'an dan pendapat para ulama fiqh.

 

Abdurrahman Al-Amiry

Senin, 22 Juli 2024. Di Ma'had Imam Al-Albani, Prabumulih, Sumatra Selatan.

Abdurrahman Al-Amiry adalah seorang penuntut ilmu dan pengkaji islam, serta mudir atau pimpinan ponpes Imam Al-Albani, Prabumulih, Sumsel. Keseharian beliau adalah mengajar dan berdakwah di jalan Allah. Beliau menghabiskan waktu paginya dengan mengajar para santri dan menghabiskan waktu malam dengan berdakwah lepas di berbagai masjid..

0 komentar:

Posting Komentar

Contact Me

Adress

Ma'had Imam Al-Albani, Prabumulih, Sumsel

Phone number

+62 89520172737 (Admin 'Lia')

Website

www.abdurrahmanalamiry.com