Asya’irah Dalam Timbangan Ahlussunnah [1]: Perbedaan Pandangan Asy'ariyah dengan Ahlus Sunnah dalam Sumber Pengambilan Dalil
Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah mereka yang paling setia dalam mengikuti sunnah dan selalu berkumpul dalam jamaah. Mereka adalah orang-orang yang konsisten menjalankan sunnah dalam segala aspek kehidupan, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun keyakinan. Sebagaimana disampaikan oleh Abu al-Qasim at-Taimi al-Ashbahani:
قولهم : فلان على السُّنَّة، ومن أهل السُّنَّة، أي: هو موافق للتنزيل والأثر في الفعل والقول، لأن السُّنَّة لا تكون مع مخالفة الله ومخالفة رسوله
"Ketika mereka mengatakan: Si Fulan berada di atas sunnah, dan termasuk Ahlus Sunnah, maksudnya adalah dia sesuai dengan Al-Qur'an dan hadis dalam perbuatan dan ucapan, karena sunnah tidak mungkin sejalan dengan menyelisihi Allah dan Rasul-Nya." (Al-Hujjah Fii Bayaan Al-Mahjjah 2/384-385)
Al-Hafiz Ibn Rajab juga menjelaskan:
والسُّنَّة هي : الطريق المسلوك، فيشمل ذلك التمسك بما كان عليه هو وخلفاؤه الراشدون الاعتقادات والأعمال والأقوال وهذه هي السُّنَّة الكاملة، ولهذا كان السلف قديماً لا يطلقون اسم «السُّنَّة» إلا على ما يشمل ذلك كله
"Sunnah adalah jalan yang diikuti, yang mencakup berpegang teguh pada apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan para khalifahnya dalam keyakinan, perbuatan, dan ucapan. Inilah yang disebut sunnah yang sempurna. Oleh karena itu, para ulama salaf dahulu tidak menyebut istilah 'sunnah' kecuali jika mencakup semua ini." (Jami' Al-'Ulum wa Al-Hikam 1/263)
Dengan demikian, Ahlus Sunnah adalah mereka yang berpegang teguh pada sunnah dalam seluruh aspek kehidupan mereka, mengikuti dan meneladani apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.
Seseorang atau kelompok tidak dapat disebut Ahlus Sunnah hingga mereka benar-benar memahami sunnah dan menempatkannya di atas segala sesuatu yang bertentangan dengannya, seperti akal, pendapat pribadi, atau kebiasaan. Orang yang menjadikan sunnah sebagai pedoman utama dalam hidupnya adalah Ahlus Sunnah. Namun, jika seseorang hanya menerima sunnah yang sesuai dengan pikirannya sendiri dan menolak yang tidak sesuai, maka ia bukanlah bagian dari Ahlus Sunnah.
Inilah cara untuk menentukan siapa yang benar-benar termasuk Ahlus Sunnah. Siapa pun yang mengikuti sunnah akan menerima seluruh ajarannya, baik dalam keyakinan maupun ibadah. Ketika ia mengetahui kebenaran dalam sunnah, ia akan berpegang teguh padanya dan meninggalkan segala sesuatu yang bertentangan dengannya. Orang seperti ini akan selalu sejalan dengan para ulama salaf dalam berbagai persoalan akidah, seperti nama-nama dan sifat-sifat Allah, iman, takdir, sahabat, amar ma'ruf nahi munkar, dan lainnya.
Oleh karena itu, para ulama salaf tidak pernah berselisih dalam hal-hal pokok ini. Mereka sepakat dalam ucapan dan keyakinan karena sumber dan metode yang mereka gunakan adalah sama.
Siapa saja yang menyimpang dari mereka dalam satu prinsip dasar pokok akidah, tidaklah termasuk bagian dari mereka (ahlussunnah). Misalnya, seseorang yang berbeda pandangan dalam hal nama-nama dan sifat-sifat Allah, iman, atau takdir. Hal ini terjadi karena ia telah mendahulukan akal, pendapat pribadi, atau kebiasaannya di atas sunnah.
Imam Ahlus Sunnah pada masanya, Abu Muhammad al-Barbahari, berkata:
ولا يحل لرجل مسلم أن يقول : فلان صاحب سنة، حتى يعلم أنه اجتمعت فيه خصال السُّنَّة، لا يُقال له : صاحب سنة، حتى تجتمع فيه السُّنَّة كلها
"Tidak boleh seorang muslim mengatakan: Si Fulan adalah pengikut sunnah, sampai dia benar-benar tahu bahwa dalam dirinya terkumpul sifat-sifat sunnah. Ia tidak bisa disebut pengikut sunnah sampai seluruh sunnah ada padanya." (Sharh As-Sunnah, hal. 128).
Yang dimaksud dengan sifat-sifat sunnah di sini adalah prinsip-prinsip dasar yang menjadi fondasi sunnah itu sendiri.
Prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang menjadi landasan keyakinan dan perbuatan mereka, adalah berpegang pada ajaran yang telah ditetapkan tanpa menambah-nambah hal baru. Mereka tidak menyembah Allah Subhanahu Wa Ta'ala berdasarkan hawa nafsu, melainkan berdasarkan apa yang telah ditetapkan dalam hadis-hadis sahih. Begitu pula dalam keyakinan mereka tentang Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan agama-Nya, mereka hanya mempercayai apa yang telah ditegaskan dalam hadis. Mereka sangat teguh berpegang pada prinsip ini, sangat berhati-hati, dan menolak dengan tegas siapa saja yang menyelisihinya.
Keyakinan Ahlus Sunnah tentang Rabb mereka, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta'ala, didasarkan sepenuhnya pada apa yang terdapat dalam Kitabullah Subhanahu Wa Ta'ala dan sunnah Nabi-Nya Shallallahu Alaihi Wasallam. Mereka tidak melampaui batasan yang ada dalam keduanya. Dalam hal ini, mereka mengikuti petunjuk para salaf umat ini, yaitu para perawi agama dan syariat, yakni para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, yang dikenal dengan ketulusan hati, kedalaman ilmu, dan keengganan mereka dalam berlebih-lebihan. Mereka adalah kaum yang dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
{والسابقون الأولون من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان رضي الله عنهم ورضوا عنه}
"Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah." (At-Taubah: 100)
Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga berfirman:
{ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا}
"Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (An-Nisa: 115)
Oleh karena itu, mereka mendasarkan akidah pada dalil dari Al-Qur'an, kemudian sunnah, lalu ucapan para sahabat, kemudian tabi'in yang mengikuti mereka dengan baik, diikuti oleh para ulama yang datang setelah mereka, hingga akhirnya dari ucapan para imam setelah mereka.
Inilah metode mereka dalam setiap bab akidah atau keyakinan. Mereka sama sekali tidak mengacu pada ushul ilmi al-kalam (prinsip-prinsip ilmu kalam), dan mereka tidak membahas nama-nama serta sifat-sifat Allah dengan akal yang terbatas.
Perbedaan Pandangan Asy'ariyah dengan Ahlus Sunnah dalam Sumber Pengambilan Dalil
Imam Bukhari dalam kitabnya Shahih Bukhari pada bagian Kitab At-Tauhid, serta dalam kitab Khalq Af'aal Al-Ibad, menjelaskan akidah dengan cara mengikuti metode para salaf. Ia menjadikan Al-Qur'an dan sunnah sebagai sumber utama, kemudian diikuti dengan ucapan para salaf dari kalangan sahabat, tabi'in, dan para imam.
Pendekatan ini dikenal sebagai metode pengambilan dalil yang menjadi ciri utama yang membedakan Ahlus Sunnah wal Jamaah dari golongan lain. Ahlus Sunnah menetapkan bahwa sumber keyakinan dan hukum berasal dari wahyu yang termaktub dalam Al-Qur'an dan sunnah.
Imam Ahlus Sunnah, Abu Muhammad Al-Hasan Al-Barbahari, menjelaskan prinsip ini:
واعلم رحمك الله، أن الدين إنما جاء من قِبَل الله تبارك وتعالى، لم يوضع على عقول الرجال وآرائهم، وعلمه عند الله ورسوله، فلا تتبع شيئاً بهواك فتمرق من الدين فتخرج من الإسلام
"Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, bahwa agama ini datang dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, bukan berdasarkan akal dan pendapat manusia. Ilmunya ada di sisi Allah dan Rasul-Nya. Maka jangan mengikuti sesuatu berdasarkan hawa nafsumu, sehingga kamu terlepas dari agama dan keluar dari Islam." (Syarh As-Sunnah, hlm. 66)
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berkata dalam kitabnya Al-Furqan Baina Ahlis Sunnah wa Ahlil Bid'ah:
فهكذا كان الصحابة ومن سلك سبيلهم من التابعين لهم باحسان وأئمة المسلمين، فلهذا لم يكن أحد منهم يعارض النصوص بمعقوله، ولا يؤسس ديناً غير ما جاء به الرسول، وإذا أراد معرفة شىء من الدين والكلام فيه: نظر فيما قاله الله والرسول، فمنه يتعلم، وبه يتكلم، وفيه ينظر ويتفكر، وبه يستدل، فهذا أصل أهل السنة. وأهل البدع لا يجعلون اعتمادهم فى الباطن ونفس الأمر على ما تلقوه عن الرسول، بل على ما رأوه أو ذاقوه، ثم إن وجدوا السنة توافقه، والا لم يبالوا بذلك، فإذا وجدوها تخالفه أعرضوا عنها تفويضاً أو حرفوها تأويلاً. فهذا هو الفرقان بين أهل الايمان والسنة وأهل النفاق والبدعة
"Inilah cara para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka dari kalangan tabi'in yang mengikuti dengan baik, serta para imam kaum muslimin. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun dari mereka yang menentang nash-nash dengan akalnya atau membuat agama yang berbeda dari apa yang dibawa oleh Rasul. Ketika mereka ingin mengetahui sesuatu tentang agama dan berbicara tentangnya, mereka melihat apa yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dari sanalah mereka belajar, berbicara, merenungkan, dan berdalil. Inilah prinsip Ahlus Sunnah. Sementara itu, para ahli bid'ah tidak mendasarkan kepercayaan mereka pada apa yang diterima dari Rasul, melainkan pada apa yang mereka lihat atau rasakan. Jika mereka menemukan sunnah sesuai dengan itu, mereka menerimanya; jika tidak, mereka tidak peduli. Jika mereka menemukan sunnah bertentangan dengannya, mereka meninggalkannya atau menafsirkannya dengan cara yang salah. Inilah perbedaan antara Ahlul Iman dan Sunnah dengan Ahlul Nifaq dan Bid'ah." (Majmu' Al-Fatawa 13/62-63)
Bagi Ahlus Sunnah wal Jamaah, akal adalah alat untuk memahami nash dan menjadi dasar tanggung jawab dalam agama. Namun, para mutakallimun dari kalangan Asy'ariyah, Kullabiyah, dan lainnya telah menyimpang dalam metode pengambilan dalil. Mereka menyelisihi apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta metode yang dijalani oleh para salaf umat ini. Meskipun mereka berbeda dalam rincian pandangan, mereka sepakat menjadikan akal sebagai dasar utama dalam menentukan masalah akidah, bahkan mendahulukannya daripada nash.
Karena itu, mereka membagi pembahasan aqidah menjadi dua bagian: ‘aqliyat (masalah-masalah yang dipahami dengan akal), yang mencakup sebagian besar pembahasan tentang ketuhanan, kenabian, dan sejenisnya, dan ‘sam’iyat (masalah-masalah yang dipahami dengan nash), yang mencakup urusan akhirat dan yang terkait dengannya. Mereka menetapkan bahwa dasar dalam ‘aqliyat adalah akal, sementara dalam ‘sam’iyat adalah nash.
Karena itu, mereka membagi pembahasan akidah menjadi dua bagian: ‘aqliyat (masalah-masalah yang dipahami dengan akal), yang mencakup sebagian besar pembahasan tentang ketuhanan, kenabian, dan sejenisnya; dan ‘sam’iyat (masalah-masalah yang dipahami dengan nash), yang mencakup urusan akhirat dan hal-hal yang terkait dengannya. Mereka menetapkan bahwa dasar dalam ‘aqliyat adalah akal, sementara dalam ‘sam’iyat adalah nash.
Abu al-Ma’ali al-Juwaini berkata:
اعلموا وفقكم الله: أن أصول العقائد تنقسم إلى ما يُدرك عقلاً، ولا يسوغ تقدير إدراكه سمعاً، وإلى ما يُدرك سمعاً، ولا يتقدر إدراكه عقلاً، وإلى ما يجوز إدراكه سمعاً وعقلاً. ولا يسوغ تقدير إدراكه سمعاً، وإلى ما يُدرك سمعاً، ولا يتقدر إدراكه عقلاً، وإلى ما يجوز إدراكه سمعاً وعقلاً.
"Ketahuilah, semoga Allah memberi kalian taufik: Bahwa pokok-pokok akidah terbagi menjadi tiga bagian: Pertama, hal-hal yang hanya dapat dipahami dengan akal dan tidak mungkin dipahami melalui nash; kedua, hal-hal yang hanya dapat dipahami melalui nash dan tidak mungkin dipahami dengan akal; ketiga, hal-hal yang dapat dipahami baik dengan akal maupun nash.
Adapun hal-hal yang hanya dapat dipahami dengan akal adalah semua prinsip dalam agama yang harus didasarkan pada pengetahuan tentang firman Allah dan kewajiban untuk meyakini kebenarannya. Karena hal-hal yang berlandaskan nash bersandar pada firman Allah, maka apa yang mendahului penetapan nash dalam urutan kewajiban tidak mungkin dipahami melalui nash saja.
Sedangkan hal-hal yang hanya dapat dipahami melalui nash adalah keputusan mengenai terjadinya sesuatu yang mungkin secara akal, namun tidak bisa dipastikan kebenarannya kecuali dengan nash. Hal ini mencakup hukum-hukum dalam agama, seperti penetapan kewajiban, larangan, anjuran, dan kebolehan. Termasuk dalam bagian ini adalah berbagai ketetapan hukum syariat, serta berbagai isu mengenai baik dan buruk, kewajiban dan larangan, anjuran, dan kebolehan.
Adapun hal-hal yang bisa dipahami baik dengan akal maupun nash adalah hal-hal yang dapat dibuktikan melalui pemahaman akal, dan dapat dibayangkan bahwa ilmu tentang firman Allah mendahului pemahaman tersebut. Contoh dalam bagian ini adalah penetapan kebolehan melihat Allah dan penetapan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala adalah satu-satunya Pencipta. Hal-hal ini bisa dipahami melalui akal dan nash.
Setelah prinsip-prinsip ini ditetapkan, setiap orang yang serius dalam agama dan percaya pada akalnya harus mempertimbangkan dalil-dalil dari nash. Jika sesuatu tidak bertentangan dengan akal dan dalil nash-nya jelas, maka kebenarannya harus diyakini. Namun, jika dalil nash tidak kuat dan terdapat kemungkinan penafsiran lain, maka tidak boleh dipastikan kebenarannya. Orang yang beriman akan lebih cenderung menerima apa yang didukung oleh dalil nash, meskipun tidak sampai pada kepastian. Jika kandungan syariat yang sampai kepada kita bertentangan dengan akal, maka syariat tersebut pasti ditolak karena syariat tidak mungkin bertentangan dengan akal, dan tidak mungkin ada nash yang benar-benar jelas dalam hal ini atau tidak ada keraguan dalam pemahamannya." (Al-Irsyad, hlm. 358-360).
Al-Juwaini ingin menegaskan bahwa dalam memahami nash, kita perlu melalui beberapa langkah berikut:
Memeriksa Dalil Nash dengan Akal: Setelah memahami bahwa akal dan nash bekerja bersama, seseorang yang serius dalam beragama dan mempercayai akalnya perlu mempertimbangkan dalil-dalil dari nash. Ini berarti mereka harus menilai apakah suatu dalil nash dapat dipahami dengan akal dan memiliki kejelasan makna.
Jika Nash Jelas dan Masuk Akal: Apabila suatu dalil dari nash (misalnya, ayat Al-Qur'an atau hadis) tidak bertentangan dengan akal dan maknanya jelas, maka dalil tersebut harus diterima dan diyakini kebenarannya.
Jika Nash Tidak Kuat atau Bisa Ditafsirkan Berbeda: Namun, jika dalil nash tersebut lemah (misalnya, terdapat keraguan atau perbedaan tafsir), kita tidak dapat memastikannya sebagai kebenaran mutlak. Dalam hal ini, diperlukan kehati-hatian dan penyelidikan lebih lanjut sebelum menerima nash tersebut.
Syariat yang Tampak Bertentangan dengan Akal: Jika terdapat ajaran syariat yang tampaknya bertentangan dengan akal, maka menurut pandangan ini, ajaran tersebut harus ditolak, karena syariat diyakini tidak mungkin bertentangan dengan akal. Dengan kata lain, ajaran agama yang benar seharusnya selaras dengan akal.
Kesimpulan: Al-Juwaini menyebutkan bahwa hak untuk menafsirkan nash dengan akal diberikan kepada "setiap orang yang serius dalam agama dan percaya pada akalnya."
Dengan kata lain, dalam pandangan mereka (seperti Asy’ariyah dan kelompok yang sejalan), akal menjadi dasar utama dalam menetapkan akidah. Semua nash, seperti hadis dan atsar, ditimbang berdasarkan apakah sesuai dengan akal mereka. Jika sesuai, mereka menerimanya. Namun, jika tidak sesuai, mereka akan menafsirkannya ulang atau bahkan mengabaikannya.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa mereka mendahulukan akal dalam menilai nash, sehingga nash hanya diterima jika sesuai dengan logika mereka.
Al-Ghazali dalam kitab Al-Iqtisad fi Al-I'tiqad berkata:
الحمد لله الذي اجتبى من صفوة عباده عصابة الحق وأهل السنة ... وتحققوا أن لا معاندة بين الشرع المنقول والحق المعقول. وعرفوا أن من ظن من الحشوية وجوب الجمود على التقليد، واتباع الظواهر ما أتوا به إلا من ضعف العقول وقلة البصائر .... وأنى يستتب الرشاد لمن يقنع بتقليد الأثر والخبر، وينكر مناهج البحث والنظر، أو لا يعلم أنه لا مستند للشرع إلا قول سيد البشر - صلى الله عليه وسلم -، وبرهان العقل هو الذي عرف به صدقه فيما أخبر
"Segala puji bagi Allah yang telah memilih sekelompok hamba-Nya dari Ahlul Haq dan Ahlus Sunnah... Mereka meyakini bahwa tidak ada pertentangan antara syariat yang diturunkan dan kebenaran yang dipahami oleh akal. Mereka juga memahami bahwa siapa pun yang mengira bahwa harus kaku dalam taqlid dan hanya mengikuti makna lahiriah teks (seperti yang dilakukan oleh kaum hushawiyah), sebenarnya hanya menunjukkan kelemahan akal dan kurangnya pemahaman. Bagaimana seseorang bisa mendapatkan petunjuk jika ia hanya puas dengan meniru teks dan hadis tanpa mempertimbangkan metode penelitian dan analisis? Bukankah ia tahu bahwa dasar syariat adalah perkataan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, dan bukti dari akal adalah yang membuktikan kebenarannya?" (Al-Iqtishad Fii Al-I’tiqad 27-28)
Imam Al-Barbahari dengan tepat menggambarkan keadaan orang-orang seperti ini ketika dia berkata:
ووضعوا القياس - أي في صفة الرب - وحملوا قدرة الرب، وآياته، وأحكامه، وأمره، ونهيه على عقولهم وآرائهم، فما وافق عقولهم قبلوه، وما لم يوافق عقولهم ردوه
"Mereka menggunakan logika (dalam sifat-sifat Allah), dan menafsirkan kekuasaan Tuhan, ayat-ayat-Nya, hukum-hukum-Nya, perintah-Nya, dan larangan-Nya berdasarkan akal dan pendapat mereka. Apa yang sesuai dengan akal mereka diterima, dan apa yang tidak sesuai ditolak" (Syarh As-Sunnah, hlm. 96).
Beberapa dari mereka bahkan dengan jelas menyatakan bahwa berpegang pada makna dzahir atau lahiriah dari Al-Qur'an dan Sunnah adalah sumber kesesatan. Bahkan, ada di antara mereka yang sampai mengatakan bahwa hal itu merupakan sumber kekufuran!
As-Sanusi dalam Syarh Al-Kubra berkata:
وأما من زعم أن الطريق إلى معرفة الحق الكتاب والسنة، ويحرم ما سواهما، فالرد عليه: أن حجيتهما لا تُعرف إلا بالنظر العقلي، وأيضاً: فقد وقعت فيهما ظواهر من اعتقدها على ظاهرها كفر عند جماعة أو ابتدع
"Adapun orang yang mengklaim bahwa satu-satunya jalan untuk mengetahui kebenaran adalah Al-Qur'an dan Sunnah, serta mengharamkan yang lainnya, maka tanggapan terhadap mereka adalah: Keabsahan Al-Qur'an dan Sunnah tidak dapat diketahui kecuali melalui pemikiran akal. Selain itu, ada beberapa makna lahiriah dalam keduanya yang, jika dipercaya secara harfiah, dapat mengakibatkan kekufuran menurut sebagian kelompok, atau menjadi bid'ah." (Syarh Al-Kubra, hlm. 82-83, cetakan dengan catatan kaki oleh Syaikh Ismail Al-Hamidi).
As-Sanusi juga berkata dalam Syarh Al-Kubra:
أصول الكفر ستة ... إلى أن ذكر في السادس: والتمسك في أصول العقائد بمجرد ظواهر الكتاب والسنة ... والتمسك في أصول العقائد بمجرد ظواهر الكتاب والسنة من غير بصيرة في العقل هو أصل ضلال الحشوية، فقالوا بالتشبيه والتجسيم والجهة عملاً بظاهر قوله تعالى {الرحمن على العرش استوى}، {أأمنتم من في السماء}، {لما خلقت بيدي}، ونحو ذلك
"Ada enam pokok kekufuran... hingga disebutkan yang keenam: Berpegang pada makna lahiriah dari Al-Qur'an dan Sunnah dalam masalah akidah tanpa menggunakan akal. Berpegang pada makna lahiriah dari Al-Qur'an dan Sunnah dalam masalah akidah tanpa pemahaman akal adalah sumber kesesatan kaum Hushawiyah. Mereka menyatakan bahwa Allah menyerupai makhluk, memiliki jasad, dan memiliki arah, dengan berpegang pada makna lahiriah ayat-ayat seperti {Ar-Rahman bersemayam di atas 'Arsy}, {Apakah kalian merasa aman terhadap Dzat yang di langit?}, {Ketika Aku menciptakan dengan kedua tangan-Ku}, dan ayat-ayat serupa." (Syarh Al-Kubra, hlm. 380-383, cetakan dengan catatan kaki oleh Syekh Ismail Al-Hamidi).
Akibat dari pandangan ini adalah munculnya keyakinan bahwa nash-nash dari Al-Qur'an dan Sunnah tidak memberikan petunjuk yang pasti dan hanya bersifat dugaan. Pandangan ini dijelaskan oleh Ar-Razi dalam Asas At-Taqdis dan diikuti oleh At-Taftazani dalam Syarh Al-'Aqaid An-Nasafiyah.
Pandangan ini juga dianut oleh Asy'ariyah, yang menyusun masalah-masalah akidah mereka berdasarkan argumen-argumen yang mereka sebut sebagai "akal" dan menjadikannya sebagai dasar utama, bukan Al-Qur'an, Sunnah, dan perkataan para salaf. Akibatnya, mereka jarang menyebutkan ayat-ayat atau hadis kecuali untuk mendukung prinsip-prinsip akal yang telah mereka tetapkan. Mereka sering berkata, "Ini mustahil bagi Allah," atau "Ini menuntut adanya batasan," atau "Ini mengharuskan begini dan begitu."
Bahkan di antara mereka yang menulis kitab akidah dengan menggunakan ayat-ayat dan hadis, seperti Al-Baihaqi dalam kitabnya Al-Asma' wa As-Sifat, kita mendapati bahwa setelah menyebutkan ayat dan hadis, mereka sering kali menafsirkan ulang dan membahasnya berdasarkan prinsip-prinsip ilmu kalam (teologi rasional).
Yang menarik, bahkan tampak kontradiktif dalam pendekatan ini, adalah bahwa mereka menggunakan akal dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah, yang sebenarnya termasuk perkara ghaib, tetapi mengabaikan akal dalam penentuan baik dan buruk dalam moralitas. Mereka tidak menganggap akal sebagai penentu apakah sesuatu itu baik atau buruk, meskipun hal ini terkait dengan hal-hal yang nyata dan dapat dirasakan oleh manusia.
Berikutnya, saya akan menjelaskan prinsip-prinsip utama Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah, untuk memperjelas perbedaan antara pandangan Ahlus Sunnah wal Jamaah dan Asy'ariyah. Ini juga akan menunjukkan perbedaan mereka dalam masalah-masalah lainnya.
1.
Menggunakan
Akal dalam Hal Ghaib: Kelompok ini menggunakan akal mereka untuk menafsirkan
nama-nama dan sifat-sifat Allah, yang sebenarnya termasuk dalam perkara
ghaib—hal-hal yang berada di luar jangkauan pengalaman manusia dan tidak bisa
dipahami sepenuhnya oleh akal manusia. Misalnya, mereka mungkin berusaha
menafsirkan bagaimana Allah "bersemayam di atas 'Arsy" dengan cara
yang sesuai dengan logika mereka.
2.
Mengabaikan
Akal dalam Hal Moralitas: Namun, ketika berhadapan dengan masalah penentuan baik
dan buruk (moralitas), yang sebenarnya berkaitan dengan hal-hal yang bisa
dirasakan dan dipahami oleh manusia, mereka justru tidak menggunakan akal.
Mereka berpendapat bahwa akal tidak bisa menentukan apakah sesuatu itu baik
atau buruk, dan hanya bergantung pada wahyu (nash) untuk menentukan hal-hal
ini.
3.
Kontradiksi:
Kontradiksi yang dimaksud adalah, jika mereka percaya bahwa akal cukup kuat
untuk digunakan dalam memahami hal-hal yang ghaib, seharusnya akal juga bisa
digunakan dalam hal-hal yang lebih dekat dengan pengalaman manusia, seperti
menentukan baik dan buruk. Namun, mereka justru melakukan
sebaliknya—menggunakan akal dalam hal-hal ghaib dan mengabaikannya dalam
hal-hal yang lebih nyata.

0 komentar:
Posting Komentar