Sejarah Khulafaur Rasyidin [1]: Muqaddimah
Umat Islam menginginkan pemerintahan Islam seperti ini karena pada masa tersebut, peradaban Islam mencapai puncaknya. Peradaban yang dimaksud adalah peradaban yang bersumber dari akidah Islam, yang bertujuan untuk kebahagiaan manusia, bukan peradaban materialistis yang memperbudak manusia, membiarkan hawa nafsu merajalela, dan menundukkan manusia pada sifat kebinatangan. Peradaban materialistis ini menyebabkan konflik, kerusakan yang meluas, kekuasaan yang didominasi oleh yang kuat dan kaya, serta sekelompok kecil yang mengendalikan segala sesuatu untuk kepentingan mereka sendiri. Peradaban ini menjadi tujuan pribadi, bukan tujuan bersama seluruh masyarakat, seperti yang seharusnya.
Islam memberikan pandangan yang benar tentang kehidupan kepada manusia, mengajarkan bahwa manusia bukanlah makhluk paling besar di alam semesta ini sehingga ia berhak bersikap sombong dan menindas sesama. Tidak ada satu pun umat yang lebih tinggi dari umat lainnya sehingga berhak menguasai dan menindas yang lain. Di saat yang sama, manusia juga bukan makhluk hina yang tidak bernilai di hadapan makhluk lainnya sehingga ia tunduk dan menyembah mereka, seperti yang dilakukan oleh penyembah berhala terhadap matahari, bulan, bintang, dan pohon-pohon, baik di masa lalu maupun zaman sekarang. Manusia adalah makhluk yang dimuliakan, yang diberi amanah untuk memakmurkan bumi. Amanah ini bukan berarti manusia bisa bertindak sesuka hati, tetapi ia bertanggung jawab kepada Allah yang menciptakannya, yang memberikan amanah ini, dan yang menetapkan aturan untuk kehidupannya. Manusia bertanggung jawab atas segala perbuatannya dan hasil dari perbuatannya. Jika ia berbuat baik, ia akan mendapatkan balasan terbaik, dan jika ia berbuat buruk, ia akan dihukum sesuai dengan keburukannya. Seorang Muslim mengakui kekuasaan Allah atas segala yang ia miliki, dan ia bertanggung jawab di hadapan-Nya atas setiap tindakannya. Sebagai khalifah di bumi, manusia memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari makhluk lainnya.
Dengan demikian, setiap Muslim dalam masyarakat mengambil peran mereka secara penuh karena kesadaran yang benar dan pemahaman yang baik tentang posisi mereka. Mereka menjadi anggota masyarakat yang baik, saling mendukung satu sama lain, sehingga terbentuklah masyarakat yang harmonis. Kesadaran spiritual inilah yang mendorong semangat berjihad dengan tulus, demi meraih syahid, yang pada akhirnya membawa kemenangan besar dan penaklukan luas. Para pemimpin, khususnya para khalifah, adalah yang paling memahami pentingnya hal ini dan paling mengerti implikasinya. Oleh sebab itu, peradaban pada masa itu berkembang pesat, dan masyarakat merasakan kebahagiaan yang sempurna dengan adanya keadilan, keamanan, ketenteraman, serta terpenuhinya semua kebutuhan dasar, yang membawa pada kesejahteraan.
Untuk melihat perbedaan antara para khalifah rasyidin dan penguasa di masa kini, kita bisa membuat perbandingan. Akan terlihat jelas betapa besar perbedaannya antara mereka yang dipandu oleh ajaran Islam dengan mereka yang dikuasai oleh kepentingan duniawi dan materialisme. Kehidupan para khalifah rasyidin hampir seragam, sehingga kita bisa mengambil contoh-contoh umum yang dikenal luas oleh masyarakat. Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa masyarakat umumnya tahu tentang kehidupan para khalifah rasyidin yang mereka anggap sebagai teladan. Namun, mereka sulit menuntut hal yang sama dari para penguasa saat ini, karena adanya penindasan dan ketidakadilan yang begitu kuat. Masyarakat sangat ingin melihat penerapan Islam, dan ketika mereka melihat tanda-tanda ke arah itu, mereka akan mendukungnya dengan sepenuh hati dan siap berkorban.
Dalam tulisan ini, kita akan menyajikan gambaran tentang kehidupan sosial para khalifah rasyidin, karena aspek ini memiliki hubungan langsung dengan kehidupan umum masyarakat.
Para khalifah rasyidin memiliki sikap rendah hati yang luar biasa. Misalnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu, sebelum diangkat menjadi khalifah, biasa memerah susu kambing milik tetangganya. Setelah beliau dibaiat sebagai khalifah, seorang gadis di lingkungan tersebut berkata,
الآن لا يحلب لنا منايح السنح
"Sekarang dia tidak akan lagi memerah susu kambing untuk kami."
Mendengar hal itu, Abu Bakar Radhiyallahu Anhu menjawab,
بلى، لعمري لأحلبنها لكم، وإني لأرجو ألا يغيرني ما دخلت فيه عن خلق كنت عليه
"Tentu saja aku akan tetap memerahnya untuk kalian. Aku berharap posisi ini tidak mengubah akhlakku."
Maka, beliau terus memerah susu kambing untuk mereka selama tinggal di sana. Namun, setelah enam bulan menjabat sebagai khalifah, ketika beliau pindah ke Madinah, kegiatan tersebut harus beliau tinggalkan.
Abu Bakar Radhiyallahu Anhu juga dikenal sangat sederhana. Ketika tali kekang untanya terjatuh, beliau turun sendiri untuk mengambilnya. Orang-orang berkata, "Wahai Khalifah, mengapa tidak meminta kami untuk mengambilkannya?" Namun, beliau menjawab,
أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ألا نسأل الناس شيئاً
"Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah memerintahkan kita untuk tidak meminta bantuan orang lain."
Sifat rendah hati seperti ini jarang ditemukan setelah masa para khalifah rasyidin, kecuali pada mereka yang dirahmati Allah. Saat ini, seseorang yang mendapatkan kekuasaan seringkali menjauh dari rakyatnya, berbicara dari balik tabir, dan hanya bisa diakses setelah melewati banyak penghalang dan penjagaan ketat, baik dari tentara maupun intelijen.
Mari kita lihat sisi lain dari tanggung jawab seorang pemimpin, yaitu perhatian terhadap kehidupan dan kesejahteraan rakyatnya. Pada masa itu, khalifah secara langsung memantau keadaan rakyatnya, baik siang maupun malam. Mereka berkeliling di pasar-pasar pada siang hari, menanyakan kabar rakyat, dan pada malam hari mereka berkeliling untuk melihat kondisi umat, terutama mereka yang membutuhkan. Mereka juga memperhatikan orang-orang yang bermalam di sekitar kota, termasuk para pedagang dan orang-orang yang terpaksa bermalam karena kebutuhan.
Suatu malam, Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu berkeliling di Madinah dan menemukan seorang wanita dari kalangan Anshar yang membawa kantong air. Umar bertanya tentang keadaannya, dan wanita itu menjelaskan bahwa ia memiliki anak-anak yang harus ia urus, tidak memiliki pelayan, dan keluar pada malam hari untuk mengambil air karena tidak suka keluar di siang hari. Mendengar hal ini, Umar memutuskan untuk membawa kantong air tersebut hingga ke rumah wanita itu. Setelah sampai, Umar berkata,
الغدي على عمر غدوة يخدمك خادماً
"Besok pagi, datanglah kepada Umar, dan ia akan memberimu pelayan."
Wanita itu bertanya,
لا أصل إليه
"Bagaimana caranya aku bisa menemui Umar?"
Umar menjawab,
إنك ستجدينه إن شاء الله تعالى
"Engkau pasti akan menemukannya, insya Allah."
Keesokan harinya, wanita tersebut menemui Umar dan menyadari bahwa orang yang membawakan kantong air itu adalah Umar sendiri. Wanita itu merasa malu dan hendak pergi, namun Umar memanggilnya kembali dan memerintahkan agar diberikan pelayan dan nafkah untuknya.
Namun, setelah masa para khalifah rasyidin, para penguasa tidak berani meninggalkan tempat tinggal mereka. Mereka bahkan tidak bisa mengunjungi keluarga atau kerabat mereka. Jika mereka keluar, pasukan intelijen rahasia akan bergerak dalam barisan panjang di depan dan di belakangnya. Para pengawal keamanan berdiri berbaris dalam jarak yang jauh, dan beberapa di antaranya menyebar di sepanjang jalan. Mobil-mobil yang serupa melaju dengan kecepatan tinggi, saling mengikuti agar tidak ada yang tahu di mobil mana penguasa berada.
Sekarang mari kita lihat aspek keuangan yang menjadi tumpuan kehidupan, baik dan buruknya. Abu Bakar Radhiyallahu Anhu adalah seorang pedagang. Setiap hari, beliau pergi ke pasar untuk menjual dan membeli barang. Ketika beliau diangkat sebagai khalifah, beliau tetap pergi ke pasar dengan membawa barang dagangan di pundaknya. Suatu hari, beliau bertemu dengan Umar dan Abu Ubaidah yang bertanya,
أين تريد يا خليفة رسول الله؟
"Kemana engkau akan pergi, wahai Khalifah Rasulullah?"
Beliau menjawab,
السوق
"Ke pasar."
Mereka bertanya,
تصنع ماذا وقد وليت أمور المسلمين؟
"Apa yang hendak engkau lakukan, padahal engkau telah diberi tanggung jawab atas urusan kaum Muslimin?"
Beliau menjawab,
فمن أين أطعم عيالي؟
"Lalu, dari mana aku bisa memberi makan keluargaku?"
Mereka berkata,
انطلق معنا حتى نفرض لك شيئاً
"Ikutlah bersama kami, sehingga kami bisa menetapkan sesuatu untukmu."
Maka, mereka pergi bersama dan menetapkan jatah untuk Abu Bakar sebanyak setengah ekor kambing setiap hari.
Dalam kitab Riyadh an-Nadhirah disebutkan bahwa gaji yang diberikan kepada Abu Bakar adalah 250 dinar per tahun, ditambah seekor kambing yang diambil bagian perut, kepala, dan kakinya. Namun, jumlah ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan beliau dan keluarganya. Semua dinar dan dirham yang beliau miliki telah diserahkan ke Baitul Mal. Masya Allah tabaarakallah.
Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu juga bekerja sebagai pedagang. Namun, setelah diangkat menjadi khalifah, pendapatan dari perdagangannya tidak lagi mencukupi karena beliau disibukkan dengan urusan rakyat. Maka, beliau mengumpulkan para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam untuk meminta saran mereka. Umar berkata,
إني كنت امرءاً تاجراً، وقد شغلتموني بأمركم هذا فما ترون أنه يصلح لي من المال؟
"Aku dulu adalah seorang pedagang, tetapi sekarang aku disibukkan dengan urusan kalian ini. Menurut kalian, berapa yang pantas aku terima dari harta ini?"
Utsman Radhiyallahu Anhu menjawab,
كل وأطعم
"Makanlah dan berilah makan keluargamu."
Said bin Zaid dan kebanyakan sahabat yang lain juga memberikan pendapat yang serupa. Sementara itu, Ali Radhiyallahu Anhu diam. Umar kemudian bertanya kepadanya,
ما تقول أنت في ذلك؟
"Apa pendapatmu tentang hal ini?"
Ali menjawab,
ما يصلحك ويصلح عيالك بالمعروف، ليس لك من هذا الأمر غيره
"Apa yang cukup untukmu dan keluargamu dengan cara yang wajar, itulah yang pantas. Tidak ada yang lebih dari itu."
Umar pun berkata,
القول ما قال علي بن أبي طالب
"Pendapat Ali bin Abi Thalib itulah yang benar."
Utsman Radhiyallahu Anhu, ketika memberikan bantuan kepada orang-orang, seringkali juga menambahkannya dari harta pribadinya kepada mereka yang tidak cukup dengan apa yang telah diberikan. Beliau dikenal karena kemurahan hati, sedekah, dan pengorbanannya dalam berjihad.
Ali Radhiyallahu Anhu juga memiliki sifat yang sama seperti Umar Radhiyallahu Anhu dalam hal ini.
Namun, bagaimana dengan kita hari ini dibandingkan dengan para sahabat tersebut, semoga Allah meridhai mereka? Saat ini, perbendaharaan negara berada di tangan para penguasa yang menggunakannya sesuka hati, tanpa ada batasan. Selain itu, mereka memiliki pengeluaran tersembunyi yang tak terhitung jumlahnya. Bahkan, kekayaan mereka telah menumpuk di bank-bank luar negeri hingga negara-negara asing menjadi bergantung pada uang tersebut karena jumlahnya yang sangat besar. Sebagian besar kekayaan ini dimiliki oleh para penguasa dan pangeran dari kalangan Muslim. Meskipun demikian, telah terbukti bahwa seberapa banyak pun harta yang mereka miliki dan seberapa banyak pun properti yang mereka kumpulkan, semua itu tidak akan pernah cukup dan tidak akan membawa manfaat apa pun bagi pemiliknya. Lihat saja Shah Iran, dengan segala kekayaannya, ia tidak menemukan tanah yang bisa menerimanya untuk berlindung. Itu terjadi di dunia, dan di akhirat ia akan menghadapi azab yang berat, sebagai balasan bagi orang-orang yang zalim.
Barangkali, ungkapan terbaik tentang harta adalah apa yang dikatakan oleh Ubadah bin Ash-Shamit[1] Radhiyallahu Anhu kepada Muqawqis, penguasa Mesir, sebelum penaklukannya. Ubadah berkata,
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا كُلُّهَا لَنَا، مَا أَرَدْنَا مِنْهَا لِأَنْفُسِنَا أَكْثَرَ مِمَّا نَحْنُ فِيهِ
"Seandainya seluruh dunia ini milik kami, kami tidak akan menginginkan lebih dari apa yang telah kami miliki sekarang."
Mari kita lihat salah satu aspek keadilan pada masa Khulafaur Rasyidin. Ali Radhiyallahu Anhu pernah didatangi oleh dua orang wanita, seorang Arab dan seorang budak perempuan. Ali memberi masing-masing mereka satu takaran makanan dan empat puluh dirham. Budak perempuan tersebut mengambil bagiannya dan pergi. Sementara itu, wanita Arab berkata,
يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ تُعْطِينِي مِثْلَ الَّذِي أَعْطَيْتَ هَذِهِ وَأَنَا عَرَبِيَّةٌ وَهِيَ مَوْلَاةٌ؟
"Wahai Amirul Mukminin, engkau memberiku sama dengan apa yang engkau berikan kepada budak ini, padahal aku adalah orang Arab dan dia seorang budak?"
Ali Radhiyallahu Anhu menjawab,
إِنِّي نَظَرْتُ فِي كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَلَمْ أَرَ فِيهِ فَضْلًا لِوَلَدِ إِسْمَاعِيلَ عَلَى وَلَدِ إِسْحَاقَ عَلَيْهِمَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ
"Aku telah melihat dalam Kitab Allah Azza wa Jalla, dan aku tidak menemukan keutamaan bagi keturunan Ismail atas keturunan Ishaq Alaihimas Salam."
Suatu ketika, Ja’dah bin Hubairah datang kepada Ali Radhiyallahu Anhu dan berkata,
يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ يَأْتِيكَ الرَّجُلَانِ أَنْتَ أَحَبُّ إِلَى أَحَدِهِمَا مِنْ نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَمَالِهِ، وَالْآخَرُ لَوِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَذْبَحَكَ لَذَبَحَكَ فَتَقْضِي لِهَذَا عَلَى هَذَا!
"Wahai Amirul Mukminin, ada dua orang yang datang kepadamu. Salah satunya mencintaimu lebih dari dirinya sendiri, keluarganya, dan hartanya. Sedangkan yang lain, jika dia bisa membunuhmu, dia akan melakukannya. Namun, engkau tetap memutuskan hukum dengan adil bagi mereka."
Ali Radhiyallahu Anhu kemudian menepuk Ja’dah dan berkata,
إِنَّ هَذَا شَيْءٌ لَوْ كَانَ لِي فَعَلْتُ، وَلَكِنْ إِنَّمَا ذَا شَيْءٌ لِلَّهِ
"Ini adalah sesuatu yang jika milikku, aku akan melakukannya, tetapi ini adalah sesuatu yang menjadi hak Allah."
Tidak diragukan lagi, penguasa yang memiliki sikap dan tindakan seperti ini akan membuat rakyatnya hidup dengan tenang, merasa dihargai dan dihormati, serta hidup dalam keamanan dan kedamaian. Setiap orang akan merasa aman atas dirinya, hartanya, dan kehormatannya, sehingga kebahagiaan akan tercapai. Namun, kita juga tahu bahwa dalam setiap masyarakat dan kapan saja, selalu ada elemen-elemen yang mencoba berbuat jahat, menimbulkan kerusakan, dan mengejar kepentingan pribadi. Meskipun demikian, mata para Khulafaur Rasyidin selalu waspada terhadap mereka dan siap untuk menindak mereka dengan tegas, memaksa mereka untuk tetap di jalan yang benar, baik dengan nasihat maupun dengan kekuatan jika nasihat tidak mempan. Ketegasan para khalifah ini bukanlah karena kelemahan atau ketakutan, tetapi karena pendidikan Islam yang kuat dan ketakutan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala serta keteguhan untuk berjalan di atas jalannya.
Tidak diragukan lagi bahwa Islamlah yang mendidik para khalifah ini sehingga mereka menjadi pemimpin yang adil. Begitu pula, rakyat yang dibesarkan dalam ajaran Islam memiliki rasa takut dan takwa kepada Allah, sehingga mereka tulus dalam menasihati para pemimpin mereka dan sesama Muslim. Mereka merasakan persaudaraan dengan seluruh anggota masyarakat, sehingga terbentuklah umat yang mulia, sebaik-baik umat yang dihadirkan untuk manusia. Hal ini terus berlangsung selama mereka tetap memerintahkan yang baik, mencegah yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Setiap individu berani menasihati pemimpin mereka, dan para pemimpin pun menerima nasihat tersebut. Mereka memerintahkan kepada kebenaran, dan para pemimpin pun merespons dengan baik.
Pernah suatu kali, Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu berdiri di atas mimbar dan berkata,
يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ، مَاذَا تَقُولُونَ لَوْ مِلْتُ بِرَأْسِي إِلَى الدُّنْيَا كَذَا؟
"Wahai kaum Muslimin, apa yang akan kalian katakan jika aku condongkan kepalaku kepada dunia seperti ini?" (lalu Umar memiringkan kepalanya).
Seorang laki-laki berdiri dan menjawab,
أَجَلْ، كُنَّا نَقُولُ بِالسَّيْفِ كَذَا
"Ya, kami akan berkata dengan pedang seperti ini," (lalu ia mengisyaratkan pemenggalan).
Umar bertanya,
إِيَّايَ تَعْنِي بِقَوْلِكَ؟
"Apakah yang kamu maksud adalah aku?"
Laki-laki itu menjawab,
نَعَمْ إِيَّاكَ أَعْنِي بِقَوْلِي
"Ya, aku maksudkan engkau dengan perkataanku."
Umar pun berkata,
رَحِمَكَ اللَّهُ، الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَعَلَ فِي رَعِيَّتِي مَنْ إِذَا اعْوَجَجْتُ قَوَّمَنِي
"Semoga Allah merahmatimu. Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam rakyatku orang yang akan meluruskanku jika aku menyimpang."
Para istri pada masa itu juga biasa meminta kepada suami mereka sebelum keluar bekerja untuk bertakwa kepada Allah dalam urusan mereka dan makanan yang mereka bawa pulang. Mereka mengatakan bahwa mereka bisa bersabar atas rasa lapar, tetapi tidak bisa bersabar atas makanan yang haram.
Bersambung…..
Abdurrahman Al-Amiry
Kamis 15/08/24 di Ma’had Imam Al-Albani.
[1] Ubadah
bin Ash-Shamit bin Qais Al-Anshari Al-Khazraji, dikenal dengan julukan Abu
Walid, adalah seorang sahabat yang dikenal dengan ketakwaannya. Beliau turut
serta dalam Bai'at Aqabah—dan termasuk salah satu pemimpin (naqib)—dan ikut
dalam Perang Badar serta semua pertempuran lainnya. Beliau juga hadir dalam
penaklukan Mesir dan menjadi hakim pertama di Palestina. Beliau adalah seorang
pria yang tinggi dan berkulit gelap. Ubadah wafat di Baitul Maqdis pada tahun
34 H.

0 komentar:
Posting Komentar