Sirah Nabawiyyah [1]: Kisah Hidup Nabi dari Kelahiran hingga Masa Sebelum Kenabian
Nasab
Rasulullah yang Mulia:
Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam memiliki garis keturunan yang mulia. Beliau adalah manusia yang
paling mulia, rasul yang paling utama, dan penutup para nabi. Nama lengkap
beliau adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim, dan seterusnya
hingga mencapai Adnan.
Adnan adalah keturunan Nabi
Isma'il, putra Nabi Ibrahim 'Alaihimas Salam. Hal ini disepakati oleh para
ulama, meskipun jumlah dan nama-nama leluhur antara Adnan dan Isma'il tidak
diketahui dengan pasti.
Ibu Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam bernama Aminah binti Wahb. Dari pihak ayah dan ibu, beliau
berasal dari satu garis keturunan yang sama, yaitu Kilab, seorang leluhur yang
dikenal karena sering berburu dengan anjing, sehingga diberi nama Kilab.
Kabilahnya:
Kabilah Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wasallam adalah kabilah Quraisy, yang dikenal karena
kehormatannya, statusnya yang tinggi, kemuliaannya yang asli, dan kedudukannya
yang suci di antara seluruh bangsa Arab. Nama Quraisy adalah julukan untuk Fihr
bin Malik atau An-Nadhr bin Kinanah.
Semua tokoh dari kabilah ini
adalah pemimpin dan bangsawan di zamannya. Di antara mereka, Qushay—yang nama
aslinya adalah Zaid—memiliki keistimewaan yang luar biasa. Beliau adalah orang
pertama dari Quraisy yang diberi tanggung jawab atas Ka'bah, menjadi penjaga
dan pengurusnya. Qushay memegang kunci Ka'bah dan berwenang membuka dan
menutupnya sesuai keinginannya. Beliau juga yang memindahkan orang Quraisy ke
dalam Mekah, karena sebelumnya mereka tinggal di pinggiran dan sekitar Mekah,
tersebar di antara kabilah-kabilah lainnya.
Selain itu, Qushay adalah
pendiri tradisi menyediakan air minum dan makanan bagi para jamaah haji. Sumber
air yang disediakan disebut "as-siqayah," berupa air minum yang
dibuat dari nabidh (minuman dari rendaman kurma, madu, atau kismis) dan
ditempatkan di wadah-wadah besar untuk diminum oleh para jamaah. Adapun
"ar-rifadah" adalah makanan yang disediakan bagi mereka selama musim
haji. Qushay juga membangun sebuah rumah di sebelah utara Ka'bah yang dikenal
sebagai Darun Nadwah, tempat pertemuan dan pusat kegiatan sosial Quraisy. Di
rumah inilah diadakan pernikahan dan keputusan-keputusan penting, serta Qushay
memegang panji komando, yang artinya, tidak ada bendera perang yang dikibarkan
kecuali atas perintahnya. Beliau dikenal sebagai orang yang dermawan,
bijaksana, dan memiliki pengaruh besar di tengah kaumnya.
Keluarganya:
Keluarga Nabi Shallallahu
Alaihi Wasallam dikenal sebagai keluarga Hasyimiyah, yang dinisbahkan kepada
kakek beliau, Hasyim.
Hasyim, yang merupakan kakek
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, mewarisi tugas mulia dari Qushay,
yaitu menyediakan air minum dan makanan bagi para jamaah haji (as-siqayah dan
ar-rifadah). Setelah Hasyim, tugas ini dilanjutkan oleh saudaranya, Muthalib,
dan kemudian diwariskan kepada keturunan Hasyim hingga masa Islam datang.
Hasyim adalah orang yang paling terhormat pada zamannya. Beliau mendapat
julukan "Hasyim" karena kebiasaannya menghancurkan roti dan
mencampurkannya dengan daging untuk dijadikan thareed (makanan tradisional),
kemudian membagikannya kepada orang-orang. Nama asli beliau adalah Amr.
Hasyim juga dikenal sebagai
orang yang menetapkan dua perjalanan perdagangan utama bagi Quraisy, yaitu
perjalanan musim dingin ke Yaman dan perjalanan musim panas ke Syam. Karena
perannya yang besar, ia dikenal dengan sebutan "Sayyidul Batha"
(Pemimpin Lembah Mekah).
Dalam kisah hidupnya, Hasyim
pernah singgah di Yatsrib (sekarang Madinah) dalam perjalanan dagangnya ke
Syam. Di sana, ia menikah dengan Salma binti Amr dari Bani Adi bin Najjar dan
tinggal bersamanya untuk beberapa waktu. Setelah itu, ia melanjutkan
perjalanannya ke Syam, dan Salma saat itu tengah mengandung. Hasyim wafat di
Gaza, Palestina, sementara Salma melahirkan seorang putra di Madinah yang
diberi nama Syaibah, karena terdapat uban di kepalanya sejak lahir. Anak ini
dibesarkan di Madinah bersama keluarga ibunya, hingga pada usia tujuh atau
delapan tahun, paman dari pihak ayahnya, Muthalib, mengetahui keberadaannya dan
membawanya ke Mekah. Ketika orang-orang melihatnya, mereka mengira Syaibah
adalah budak Muthalib, sehingga ia dikenal dengan sebutan "Abdul
Muthalib" (budaknya Muthalib).
Abdul Muthalib tumbuh menjadi
pria yang paling tampan, berwibawa, dan paling dihormati di zamannya. Ia
menjadi pemimpin Quraisy dan pemegang kendali kafilah dagang Mekah. Abdul
Muthalib dikenal sebagai orang yang sangat dermawan dan murah hati, sehingga
diberi julukan "Al-Fayyadh" karena kedermawanannya yang melimpah.
Beliau selalu menyisihkan
makanan dari meja makannya untuk diberikan kepada fakir miskin, hewan liar, dan
burung-burung. Karena itu, beliau dijuluki "Pemberi Makan bagi Manusia,
Hewan Liar, dan Burung-Burung di Puncak Gunung."
Salah satu kehormatan besar
yang diraih Abdul Muthalib adalah menggali kembali sumur Zamzam. Sumur ini
pernah tertutup dan terlupakan sejak kabilah Jurhum meninggalkan Mekah. Abdul
Muthalib diperintahkan melalui mimpi untuk menggali sumur ini, dan lokasi sumur
tersebut juga dijelaskan dalam mimpi tersebut.
Di masa kepemimpinan Abdul
Muthalib, terjadi peristiwa besar yang dikenal sebagai Peristiwa Gajah. Abrahah
Al-Asyram, seorang penguasa dari Yaman, datang dengan enam puluh ribu tentara
dari Habsyah, membawa beberapa ekor gajah, dengan niat untuk menghancurkan
Ka'bah. Namun, saat mereka mencapai lembah Muhassir antara Muzdalifah dan Mina,
dan bersiap untuk menyerang Mekah, Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengirimkan
burung-burung Ababil yang melempari mereka dengan batu dari tanah yang dibakar,
sehingga mereka hancur seperti daun-daun yang dimakan ulat. Peristiwa ini
terjadi kurang dari dua bulan sebelum kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam.
Abdullah, Ayah Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wasallam
Ayah Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam, Abdullah, adalah putra Abdul Muthalib yang paling tampan, paling
suci, dan paling dicintai olehnya. Abdullah juga dikenal sebagai
"ad-dzabih" (yang disembelih), karena peristiwa penting dalam
hidupnya. Ketika Abdul Muthalib berhasil menggali kembali sumur Zamzam, terjadi
perselisihan dengan Quraisy. Abdul Muthalib bernazar bahwa jika Allah Subhanahu
Wa Ta'ala memberinya sepuluh anak laki-laki yang dapat membantunya, dia akan
menyembelih salah satu dari mereka sebagai tanda syukur. Setelah doanya
terkabul dan memiliki sepuluh anak laki-laki, dia mengundi di antara mereka,
dan undian jatuh pada Abdullah.
Abdul Muthalib membawa Abdullah
ke Ka'bah untuk disembelih, namun dihalangi oleh Quraisy, terutama
saudara-saudara dan paman-pamannya. Akhirnya, Abdullah ditebus dengan seratus
ekor unta. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam disebut sebagai
"putra dari dua yang disembelih," yaitu Ismail 'Alaihissalam dan
Abdullah, yang keduanya telah diselamatkan; Ismail dengan seekor domba, dan
Abdullah dengan seratus ekor unta.
Pernikahan Abdullah dan Aminah
Abdul Muthalib memilihkan
seorang istri yang mulia bagi putranya, Abdullah. Pilihan jatuh pada Aminah
binti Wahb, yang dikenal sebagai wanita paling terhormat dan memiliki kedudukan
tinggi di kalangan Quraisy. Ayahnya, Wahb, adalah pemimpin Bani Zuhrah yang
terkenal dengan nasab yang mulia dan kehormatannya. Setelah lamaran diterima,
Abdullah menikahi Aminah di Mekah, dan tidak lama setelah itu, Aminah
mengandung Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Setelah pernikahan, Abdul
Muthalib mengirim Abdullah untuk berdagang ke Madinah atau Syam (Suriah).
Namun, dalam perjalanan pulang dari Syam, Abdullah jatuh sakit dan meninggal di
Madinah. Ia dimakamkan di rumah An-Nabighah Adz-Dzubyani, dan hal ini terjadi
sebelum kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Kelahiran Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wasallam
Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam dilahirkan di sebuah tempat bernama Syi‘b Bani Hasyim di Mekah, pada
pagi hari Senin, tanggal 9—ada juga yang mengatakan tanggal 12—Rabiul Awal pada
tahun Gajah. Tanggal 9 dianggap lebih akurat, sedangkan tanggal 12 lebih
terkenal. Kelahiran ini bertepatan dengan 22 April 571 Masehi.
Yang membantu persalinan beliau
adalah Asy-Syifa' binti 'Amr, ibu dari sahabat Abdurrahman bin 'Auf
Radhiyallahu Anhu. Ketika Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam lahir, keluar cahaya
dari rahim ibunya yang menerangi istana-istana di Syam. Aminah segera
mengirimkan kabar gembira kepada Abdul Muthalib tentang kelahiran cucunya.
Abdul Muthalib datang dengan
penuh kebahagiaan, menggendong cucunya, dan membawanya ke Ka'bah. Di sana, ia
bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, berdoa, dan menamai cucunya
"Muhammad," dengan harapan agar ia menjadi orang yang terpuji. Pada
hari ketujuh, Abdul Muthalib mengadakan aqiqah untuknya, mengkhitan, dan
mengundang orang-orang untuk makan, sebagaimana kebiasaan orang Arab pada masa
itu.
Masa Asuhan
Pengasuh pertama Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam adalah Ummu Aiman, yang bernama asli Barakah,
seorang wanita Habsyah yang merupakan pembantu setia ayahnya, Abdullah. Ummu
Aiman tetap hidup hingga masa Islam, bahkan ikut berhijrah, dan beliau wafat
lima atau enam bulan setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam wafat.
Masa Penyusuan
Setelah dilahirkan, Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam pertama kali disusui oleh ibunya, kemudian oleh
Tsuwaibah, seorang budak wanita milik Abu Lahab, dengan susu dari anaknya yang
bernama Masruh. Sebelumnya, Tsuwaibah juga telah menyusui Hamzah bin Abdul
Muthalib dan setelah menyusui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, ia juga
menyusui Abu Salamah bin Abdul Asad Al-Makhzumi. Dengan demikian, mereka semua
menjadi saudara sepersusuan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Abu Lahab membebaskan Tsuwaibah
sebagai tanda kegembiraannya atas kelahiran Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Namun, kelak Abu Lahab menjadi salah satu musuh terbesar Nabi ketika beliau
mulai mendakwahkan Islam.
Di Bani Sa'd
Sudah menjadi kebiasaan
orang-orang Arab pada masa itu untuk mencari ibu susu bagi bayi-bayi mereka di
pedalaman, jauh dari kota-kota besar. Hal ini dilakukan untuk melindungi bayi
dari penyakit-penyakit yang umum di kota dan juga agar mereka tumbuh dengan
fisik yang kuat serta menguasai bahasa Arab yang murni sejak kecil.
Atas kehendak Allah Subhanahu
Wa Ta'ala, sekelompok wanita dari Bani Sa'd bin Bakr bin Hawazin datang ke
Mekah untuk mencari bayi-bayi yang akan mereka susui. Ketika Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam ditawarkan kepada mereka, mereka semua menolak
karena mengetahui beliau adalah seorang yatim. Salah satu wanita dari kelompok
ini adalah Halimah binti Abu Dhu'aib, yang juga tidak menemukan bayi lain untuk
disusui. Akhirnya, Halimah mengambil Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
sebagai anak susuan, dan beruntunglah ia karena mendapatkan berkah yang
diidamkan oleh orang lain.
Nama ayah Halimah adalah
Abdullah bin Harits, dan suaminya bernama Harits bin Abdul 'Uzza, keduanya
berasal dari Bani Sa'd bin Bakr bin Hawazin. Anak-anak Harits bin Abdul 'Uzza,
yang menjadi saudara sepersusuan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, adalah
Abdullah, Unaisah, dan Judhamah, yang lebih dikenal dengan julukan Asy-Syaima’.
Asy-Syaima’ juga turut mengasuh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pada
masa kecilnya.
Berkah di Rumah Penyusuan
Keberkahan melimpah di rumah
Halimah dan keluarganya selama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berada di
sana. Salah satu kisah yang menggambarkan keberkahan ini adalah ketika Halimah
datang ke Mekah. Saat itu, kondisi sedang dalam masa kekeringan dan kelaparan.
Halimah membawa seekor keledai yang paling lambat jalannya karena lemah dan
kurus. Ia juga memiliki unta yang tidak mengeluarkan setetes susu pun. Selain
itu, anak kecilnya sering menangis sepanjang malam karena kelaparan, membuatnya
dan suaminya tidak bisa tidur.
Namun, setelah Halimah
mengambil Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan meletakkannya di
pangkuannya, seketika itu juga payudaranya dipenuhi dengan susu yang cukup
untuk diminum oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam hingga kenyang, dan
anak Halimah pun minum hingga puas dan akhirnya bisa tidur nyenyak.
Suami Halimah kemudian pergi ke
unta mereka dan mendapati bahwa unta tersebut kini penuh dengan susu. Ia
memerah susu tersebut hingga cukup untuk mengenyangkan mereka berdua. Malam
itu, mereka tidur dengan damai dan penuh kenyamanan.
Ketika Halimah dan suaminya
kembali ke Badiyah Bani Sa'd, Halimah menaiki keledai yang kini menjadi sangat
cepat, bahkan mampu mendahului rombongan lainnya. Tak ada keledai lain yang
bisa menyusulnya.
Sesampainya di daerah Bani Sa'd
yang tandus, kambing-kambing mereka mulai kembali ke rumah dalam keadaan
kenyang dengan perut penuh dan dipenuhi susu, sementara kambing milik orang
lain tetap kurus dan tak menghasilkan susu. Halimah dan suaminya pun terus
memerah susu dan meminumnya, sementara tak ada orang lain yang bisa mendapatkan
setetes susu pun dari ternaknya.
Keluarga Halimah terus
merasakan keberkahan dan kelimpahan rezeki dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala
selama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tinggal bersama mereka. Setelah
dua tahun berlalu, Halimah menyapih Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam
yang telah tumbuh kuat dan sehat selama periode penyusuannya.
Masa Tinggal Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wasallam di Bani Sa'd Setelah Penyusuan
Setelah masa penyusuan Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam selesai, Halimah sering membawa beliau
kembali ke keluarganya di Mekah setiap enam bulan sekali. Setelah dua tahun
berlalu dan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam disapih, Halimah mengembalikan
beliau kepada ibunya, Aminah. Namun, karena melihat keberkahan dan kebaikan
yang hadir bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, Halimah sangat ingin agar
beliau tetap tinggal bersamanya. Ia memohon kepada ibu Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam agar memperbolehkannya menjaga beliau lebih lama lagi, dengan alasan kekhawatiran
akan wabah penyakit yang ada di Mekah. Aminah pun setuju, dan Halimah membawa
kembali Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam ke rumahnya di Bani Sa'd dengan penuh
kegembiraan.
Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam tinggal bersama Halimah selama sekitar dua tahun setelah masa
penyusuan, hingga suatu peristiwa aneh yang menyebabkan ketakutan besar pada
Halimah dan suaminya. Karena peristiwa tersebut, mereka memutuskan untuk
mengembalikan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kepada ibunya.
Peristiwa Pembelahan Dada
Anas bin Malik Radhiyallahu
Anhu meriwayatkan,
إن رسول الله له أتاه جبريل وهو
يلعب مع الغلمان فأخذه فصرعه فشق عن قلبه. فاستخرج القلب، فاستخرج منه علقة، فقال:
هذا حظ الشيطان منك. ثم غسله في طست من ذهب بماء زمزم، ثم لأمه - أي ضمه وجمعه -
ثم أعاده في مكانه.
"bahwa Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam sedang bermain dengan anak-anak lain ketika
malaikat Jibril datang kepadanya. Jibril menangkap dan membaringkan beliau,
lalu membelah dada beliau dan mengeluarkan hati beliau. Dari hati tersebut,
Jibril mengeluarkan segumpal darah dan berkata, 'Ini adalah bagian setan yang
ada padamu.' Kemudian, Jibril mencuci hati beliau dalam sebuah bejana emas yang
diisi dengan air Zamzam, lalu mengembalikan hati tersebut ke tempatnya
semula."
Anak-anak yang melihat kejadian
ini segera berlari ke pengasuh Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam (yaitu Halimah)
dan berkata,
إن محمداً قد قتل
"Muhammad telah
dibunuh!"
Namun, ketika mereka menemui
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, beliau masih hidup, tetapi wajahnya tampak
pucat karena pengalaman tersebut.
Anas Radhiyallahu Anhu juga
menambahkan,
وقد كنت أرى أثر ذلك المخيط في
صدره
"Aku masih bisa melihat
bekas jahitan pada dada beliau."
Kembali kepada Ibu yang Penuh
Kasih
Setelah peristiwa pembelahan
dada, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam kembali ke Mekah dan tinggal
bersama ibunya serta keluarganya selama sekitar dua tahun. Kemudian, ibunya,
Aminah, membawanya dalam perjalanan ke Madinah untuk mengunjungi makam ayahnya
dan keluarga kakeknya dari pihak ibu, Bani Adi bin Najjar. Dalam perjalanan
itu, mereka ditemani oleh Abdul Muthalib, kakeknya, serta pembantunya, Ummu
Aiman. Mereka tinggal di Madinah selama satu bulan sebelum kembali ke Mekah.
Namun, dalam perjalanan pulang, Aminah jatuh sakit, dan kondisinya semakin
parah hingga akhirnya wafat di Al-Abwa', sebuah tempat antara Mekah dan
Madinah, dan dimakamkan di sana.
Kembali kepada Kakek yang Penuh
Kasih Sayang
Setelah wafatnya Aminah, Abdul
Muthalib membawa cucunya kembali ke Mekah. Abdul Muthalib merasakan duka yang
mendalam atas kehilangan ini dan menunjukkan kasih sayang yang luar biasa
kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, melebihi kasih sayangnya kepada
anak-anaknya sendiri. Beliau sangat memuliakan cucunya, sering mendahulukannya
di atas yang lain, dan memberi tempat khusus kepada Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam, termasuk duduk di atas tikar yang hanya diperuntukkan bagi Abdul
Muthalib. Abdul Muthalib sering mengusap punggung Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam dan merasa bahagia melihat segala tingkah lakunya. Beliau yakin bahwa
cucunya ini akan memiliki peran besar di masa depan. Namun, sayangnya, Abdul
Muthalib wafat dua tahun kemudian, ketika Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam
berusia delapan tahun, dua bulan, dan sepuluh hari.
Dalam Asuhan Paman yang Penuh
Kasih
Setelah wafatnya Abdul
Muthalib, pengasuhan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dilanjutkan oleh
pamannya, Abu Thalib, yang merupakan saudara kandung ayahnya. Abu Thalib
merawat beliau dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Meskipun Abu Thalib
bukan orang yang kaya, Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberkahi rezekinya, sehingga
makanan yang seharusnya cukup untuk satu orang menjadi cukup untuk seluruh
keluarganya. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sendiri dikenal sebagai sosok
yang penuh dengan kepuasan dan kesabaran, menerima apa pun yang telah
ditentukan oleh Allah untuknya.
Perjalanan ke Syam dan
Pertemuan dengan Pendeta Buhaira
Ketika Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wasallam berusia dua belas tahun—ada yang mengatakan dua
belas tahun, dua bulan, dan sepuluh hari—pamannya, Abu Thalib, berencana
melakukan perjalanan dagang ke Syam bersama kafilah Quraisy. Abu Thalib merasa
berat untuk meninggalkan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, sehingga ia memutuskan
untuk membawanya serta.
Ketika kafilah tersebut tiba di
dekat kota Busrā di perbatasan Syam, seorang pendeta Nasrani yang terkenal
bernama Buhaira keluar menemui mereka. Buhaira berjalan di antara anggota
kafilah hingga ia mendekati Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, lalu ia
memegang tangan beliau dan berkata,
هذا سيد العالمين، هذا رسول رب
العالمين، هذا يبعثه الله رحمة للعالمين
"Ini adalah pemimpin
seluruh dunia, ini adalah utusan Tuhan semesta alam, ini adalah orang yang akan
diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam."
Orang-orang dalam kafilah
bertanya, "Bagaimana engkau mengetahui hal itu?"
Buhaira menjawab,
إنكم حين أشرفتم من العقبة لم
يبق حجر ولا شجر إلا خر ساجداً، ولا يسجدان إلا لنبي، وإني أعرفه بخاتم النبوة
أسفل من غضروف كتفه مثل التفاحة، وإنا نجده في كتبنا
"Ketika kalian mendekati
tempat ini dari balik bukit, tidak ada satu batu atau pohon pun yang tidak
bersujud. Mereka hanya bersujud kepada seorang nabi. Aku mengenalinya melalui
tanda kenabian yang terletak di bawah tulang rawan bahunya, sebesar buah apel.
Kami menemukan ciri-cirinya dalam kitab kami."
Buhaira kemudian menghormati
kafilah tersebut dengan menjamu mereka dan meminta Abu Thalib agar tidak
membawa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam lebih jauh ke Syam karena khawatir
akan keselamatan beliau dari ancaman orang-orang Yahudi dan Romawi. Akhirnya,
Abu Thalib memutuskan untuk mengembalikan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam ke
Mekah.
Perang Fijar
Pada usia dua puluh tahun, Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam menyaksikan pecahnya Perang Fijar di pasar
Ukaz. Perang ini melibatkan suku Quraisy dan Kinanah di satu pihak, melawan suku
Qais Ailan di pihak lain. Pertempuran berlangsung sengit, dengan banyak korban
di kedua belah pihak. Akhirnya, mereka sepakat untuk menghitung jumlah korban
di kedua pihak, dan pihak yang memiliki lebih banyak korban berhak menerima
diat (ganti rugi) untuk kelebihan jumlah korbannya. Setelah itu, perang pun
dihentikan dan permusuhan di antara mereka diredakan.
Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam ikut serta dalam perang ini dengan membantu paman-pamannya
menyiapkan anak panah untuk digunakan dalam pertempuran.
Perang ini disebut Perang Fijar
karena terjadi pelanggaran terhadap kesucian Tanah Haram Mekah dan bulan-bulan
suci. Ada empat Perang Fijar, yang masing-masing terjadi di tahun yang berbeda.
Tiga perang pertama berakhir setelah perselisihan kecil tanpa pertempuran
besar, sedangkan perang keempat inilah yang benar-benar melibatkan pertempuran.
Perjanjian Hilful Fudul
Pada bulan Dzulqa'dah setelah
Perang Fijar, terjadi perjanjian yang dikenal sebagai Hilful Fudul. Perjanjian
ini melibatkan lima kabilah Quraisy, yaitu Bani Hasyim, Bani Muthalib, Bani
Asad, Bani Zuhrah, dan Bani Taim.
Perjanjian ini diawali oleh
seorang lelaki dari Zubaid yang datang ke Mekah dengan membawa barang dagangan.
Barang tersebut dibeli oleh Al-Ash bin Wa'il As-Sahmi, namun ia menahan
pembayaran haknya. Lelaki Zubaid itu meminta bantuan kepada Bani Abduddar, Bani
Makhzum, Bani Jumah, Bani Sahm, dan Bani Adi, tetapi tidak ada yang peduli
padanya. Lalu, ia naik ke Gunung Abu Qubais dan melantunkan bait-bait puisi
yang mengisahkan kezaliman yang dialaminya, serta meminta bantuan.
Mendengar hal itu, Zubair bin
Abdul Muthalib bergerak dan mengumpulkan orang-orang yang disebutkan di atas di
rumah Abdullah bin Jud'an, kepala Bani Taim. Mereka kemudian membuat perjanjian
dan bersumpah bahwa mereka tidak akan membiarkan siapa pun di Mekah—baik
penduduk asli maupun pendatang—teraniaya tanpa mereka memberikan bantuan hingga
haknya dikembalikan. Setelah perjanjian ini, mereka mendatangi Al-Ash bin Wa'il
As-Sahmi dan memaksa dia untuk menyerahkan hak lelaki Zubaid tersebut.
Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam turut hadir dalam perjanjian ini bersama paman-pamannya.
Setelah beliau diangkat menjadi rasul, beliau bersabda:
لقد شهدت في دار عبدالله بن
جدعان حلفاً ما أحب أن لي به حمر النعم، ولو أدعى به في الإسلام لأجبت
"Aku pernah menyaksikan di
rumah Abdullah bin Jud'an sebuah perjanjian yang tidak akan aku tukar dengan
unta merah sekalipun. Jika aku dipanggil untuk memperjuangkan perjanjian itu di
masa Islam, aku pasti akan menjawabnya."
Masa Bekerja
Sudah diketahui bahwa Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam lahir sebagai yatim dan dibesarkan dalam
asuhan kakeknya, kemudian pamannya. Beliau tidak mewarisi apa pun dari ayahnya
yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, ketika mencapai usia
yang memungkinkan untuk bekerja, beliau mulai menggembalakan kambing bersama
saudara-saudara sepersusuannya di Bani Sa'd. Ketika kembali ke Mekah, beliau
menggembalakan kambing milik penduduk Mekah dengan upah berupa beberapa qirath
(bagian kecil dari dinar, kira-kira setengah atau sepertiga dari sepuluh
dinar).
Gembala kambing adalah salah
satu tradisi para nabi di awal kehidupan mereka. Suatu ketika, setelah diangkat
sebagai nabi, beliau bersabda:
ما من نبي إلا ورعاها
"Tidak ada seorang nabi
pun kecuali dia pernah menggembalakan kambing."
Ketika Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam beranjak dewasa, beliau juga terlibat dalam perdagangan. Diriwayatkan
bahwa beliau pernah berdagang bersama As-Saib bin Abi Saib, yang menganggap
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai rekan bisnis yang sangat baik, tidak
pernah menentang atau berdebat.
Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam dikenal dalam setiap interaksi bisnisnya sebagai orang yang
sangat jujur, amanah, dan menjaga kehormatan diri. Sifat-sifat ini membuat
beliau dijuluki "Al-Amin" (yang terpercaya).
Perjalanan ke Syam dan
Perdagangan dengan Harta Khadijah
Khadijah binti Khuwailid
Radhiyallahu Anha adalah salah satu wanita Quraisy yang paling mulia dalam
nasab dan kekayaan. Dia biasa memberikan hartanya kepada para pedagang untuk
dikelola dengan sistem bagi hasil. Ketika dia mendengar tentang kejujuran dan
kepercayaan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, dia menawarkan harta
miliknya kepada beliau untuk diperdagangkan ke Syam, dengan memberikan upah
yang lebih baik dibandingkan pedagang lainnya.
Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam pun berangkat ke Syam bersama budak Khadijah yang bernama
Maisarah. Di sana, beliau menjual dan membeli barang dagangan serta mendapatkan
keuntungan yang besar. Harta Khadijah juga diberkahi dengan keberuntungan yang
lebih banyak dari sebelumnya. Setelah menyelesaikan urusan perdagangan, beliau
kembali ke Mekah dan mengembalikan amanah tersebut dengan penuh tanggung jawab.
Pernikahan dengan Khadijah
Setelah melihat amanah dan
keberkahan yang luar biasa dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam,
Khadijah semakin terpesona. Maisarah juga menceritakan kepadanya tentang
sifat-sifat mulia Nabi dan beberapa kejadian luar biasa, seperti adanya dua
malaikat yang menaungi beliau di bawah terik matahari. Khadijah merasa bahwa
inilah pria yang selama ini dia cari.
Khadijah kemudian mengirim
salah seorang sahabatnya untuk menyampaikan keinginannya menikah dengan Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam. Beliau menerima tawaran itu dengan senang hati dan
segera berbicara dengan paman-pamannya. Mereka melamar Khadijah kepada
pamannya, Amr bin Asad, dan Khadijah pun dinikahkan dengan Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam di hadapan Bani Hasyim dan para pemuka Quraisy dengan mahar
sebesar dua puluh ekor unta, meskipun ada juga yang mengatakan enam ekor unta.
Abu Thalib, paman Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, menyampaikan khutbah nikah,
memuji Allah, menyebutkan kemuliaan nasab, keutamaan Nabi, dan menyampaikan
akad serta mahar.
Pernikahan ini terjadi dua
bulan lebih setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kembali dari Syam, saat
beliau berusia dua puluh lima tahun. Sementara itu, usia Khadijah ada yang
mengatakan empat puluh tahun, ada pula yang mengatakan dua puluh delapan tahun,
dan ada pendapat lain tentang usianya. Sebelumnya, Khadijah pernah menikah
dengan Atiq bin A’idh Al-Makhzumi, yang meninggal dunia, kemudian menikah
dengan Abu Halah At-Tamimi, yang juga meninggal setelah meninggalkan seorang
putra. Meskipun banyak pemuka Quraisy yang berusaha menikahinya, Khadijah
menolak mereka semua dan hanya menerima Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
sebagai suaminya. Pernikahan ini membawa kebahagiaan yang tiada bandingnya,
yang membuat iri orang-orang di masa lalu dan yang akan datang.
Khadijah adalah istri pertama
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, dan beliau tidak menikah dengan wanita lain
selama Khadijah masih hidup. Semua anak Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam,
kecuali Ibrahim, lahir dari Khadijah.
Anak-anak Nabi dari Khadijah
Anak-anak Nabi Shallallahu
Alaihi Wasallam dari Khadijah adalah Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum,
Fatimah, dan Abdullah. Ada beberapa pendapat berbeda mengenai jumlah dan urutan
mereka. Semua putra Nabi meninggal dunia saat masih kecil, sementara semua putri
beliau hidup hingga masa kenabian, masuk Islam, berhijrah, dan kemudian wafat
sebelum Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, kecuali Fatimah Radhiyallahu Anha
yang hidup enam bulan setelah wafatnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Pembangunan Kembali Ka'bah dan
Kisah Penempatan Hajar Aswad
Pada usia tiga puluh lima
tahun, terjadi banjir besar yang merusak dinding Ka'bah. Bangunan tersebut juga
sudah lemah akibat kebakaran sebelumnya, sehingga suku Quraisy memutuskan untuk
membangun kembali Ka'bah. Mereka sepakat untuk hanya menggunakan harta yang
halal dalam pembiayaan, sehingga tidak menerima mahar dari pelacuran, hasil
riba, atau harta yang didapatkan dengan cara yang zalim. Mereka takut akan
hukuman Allah karena merobohkan Ka'bah, namun Al-Walid bin Al-Mughirah berkata,
إن الله لا يهلك المصلحين
"Sesungguhnya Allah tidak
akan membinasakan orang-orang yang memperbaiki."
Lalu, ia memulai penghancuran
dan diikuti oleh yang lainnya hingga mencapai fondasi yang dibangun oleh Nabi
Ibrahim Alaihissalam.
Mereka pun mulai membangun
kembali Ka'bah, dengan setiap kabilah diberikan bagian tertentu dari bangunan
tersebut. Para pemuka Quraisy sendiri mengangkat batu-batu di atas pundak
mereka, dan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam serta pamannya, Abbas, turut serta
mengangkat batu. Pembangunan ini dilakukan oleh seorang arsitek Romawi bernama
Baqum. Karena keterbatasan dana, mereka tidak bisa menyelesaikan pembangunan
Ka'bah sesuai fondasi Ibrahim, sehingga mereka mengurangi sekitar enam hasta di
bagian utara dan membangun dinding pendek sebagai tanda bahwa bagian itu tetap
termasuk Ka'bah. Bagian ini dikenal dengan sebutan Hijr Ismail atau Al-Hatim.
Ketika pembangunan mencapai
bagian Hajar Aswad, setiap pemimpin kabilah ingin mendapatkan kehormatan untuk
meletakkannya di tempat semula, sehingga terjadi perselisihan yang berlangsung
selama empat atau lima hari, hampir berubah menjadi perang besar di dalam
Masjidil Haram. Namun, Abu Umayyah bin Al-Mughirah Al-Makhzumi, yang merupakan
orang tertua di antara mereka, menyarankan agar mereka menyerahkan keputusan
kepada orang pertama yang masuk ke dalam masjid. Semua setuju dengan usul
tersebut.
Atas kehendak Allah, orang
pertama yang masuk adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Ketika mereka
melihat beliau, mereka berseru,
هذا الأمين رضيناه هذا محمد
"Ini adalah Al-Amin, kami
ridha kepadanya, ini adalah Muhammad."
Setelah diberitahu tentang
perselisihan tersebut, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengambil selembar
kain, meletakkan Hajar Aswad di tengahnya, dan meminta setiap pemimpin kabilah
memegang ujung kain tersebut dan mengangkatnya bersama-sama. Ketika Hajar Aswad
telah mencapai tempatnya, beliau sendiri yang meletakkannya di posisi semula.
Solusi ini membuat semua pihak puas, dan mereka pun sepakat dengan keputusan
tersebut.
Hajar Aswad sekarang terletak
satu setengah meter di atas tanah tempat thawaf, sementara pintu Ka'bah
dinaikkan sekitar dua meter sehingga hanya bisa dimasuki oleh orang yang
diizinkan. Dinding Ka'bah dinaikkan menjadi delapan belas hasta, dua kali lipat
dari sebelumnya. Di dalam Ka'bah, mereka memasang enam tiang dalam dua baris
dan menutupinya dengan atap setinggi lima belas hasta, yang sebelumnya tidak
ada atap dan tiang.
Kepribadian
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam Sebelum Kenabian
Sejak masa kecilnya, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wasallam tumbuh dengan akal yang sehat, kekuatan fisik yang prima, dan
moralitas yang tinggi. Beliau dibesarkan, tumbuh, dan mencapai kedewasaan
dengan mengumpulkan semua sifat-sifat terpuji dan karakter mulia. Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wasallam adalah contoh sempurna dari pemikiran yang tepat,
pandangan yang bijaksana, serta memiliki keutamaan akhlak dan sifat-sifat yang
luhur. Beliau dikenal dengan kejujuran, amanah, keberanian, keadilan,
kebijaksanaan, kesucian, kerendahan hati, kesabaran, rasa syukur, malu,
kesetiaan, dan nasihat yang baik.
Pamannya, Abu Thalib, pernah menggambarkan beliau
dengan berkata,
وأبيض
يستسقى الغمام بوجهه ثمال اليتامى عصمة للأرامل
"Dia yang wajahnya memohonkan hujan dari langit,
pelindung bagi anak yatim, dan penjaga bagi para janda."
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sangat peduli
dengan hubungan kekerabatan, memikul beban yang berat bagi orang lain, membantu
mereka yang kurang mampu hingga mereka mendapatkan penghidupan, menjamu tamu,
dan menolong orang-orang yang tertimpa kesulitan.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala menjaga dan melindungi
beliau, serta menjauhkan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dari segala
keburukan yang ada di tengah kaumnya, seperti takhayul dan kejahatan. Beliau
tidak pernah menghadiri perayaan berhala atau upacara kemusyrikan, serta tidak
memakan hewan yang disembelih untuk selain Allah. Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam juga tidak tahan mendengar sumpah atas nama Latta dan Uzza, apalagi
menyentuh atau mendekati berhala.
Beliau
adalah orang yang paling jauh dari minuman keras dan hiburan yang tidak
bermanfaat. Bahkan, beliau tidak pernah menghadiri majelis-majelis hiburan dan
pertemuan malam yang menjadi tempat berkumpulnya anak muda dan tempat bertemu
para sahabat di Mekah.
Abdurrahman Al-Amiry
Kamis, 08/08/24 di Ma'had Imam Al-Albani

0 komentar:
Posting Komentar