Abdurrahman Al-Amiry

Abdurrahman Al-Amiry

Abdurrahman Al-Amiry

Abdurrahman Al-Amiry

Abdurrahman Al-Amiry

Kamis, 15 Agustus 2024

Sirah Nabawiyyah [1]: Kisah Hidup Nabi dari Kelahiran hingga Masa Sebelum Kenabian
Nasab Rasulullah yang Mulia:

Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam memiliki garis keturunan yang mulia. Beliau adalah manusia yang paling mulia, rasul yang paling utama, dan penutup para nabi. Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim, dan seterusnya hingga mencapai Adnan.
 
Adnan adalah keturunan Nabi Isma'il, putra Nabi Ibrahim 'Alaihimas Salam. Hal ini disepakati oleh para ulama, meskipun jumlah dan nama-nama leluhur antara Adnan dan Isma'il tidak diketahui dengan pasti.
 
Ibu Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bernama Aminah binti Wahb. Dari pihak ayah dan ibu, beliau berasal dari satu garis keturunan yang sama, yaitu Kilab, seorang leluhur yang dikenal karena sering berburu dengan anjing, sehingga diberi nama Kilab.
 
Kabilahnya:
 
Kabilah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam adalah kabilah Quraisy, yang dikenal karena kehormatannya, statusnya yang tinggi, kemuliaannya yang asli, dan kedudukannya yang suci di antara seluruh bangsa Arab. Nama Quraisy adalah julukan untuk Fihr bin Malik atau An-Nadhr bin Kinanah.
 
Semua tokoh dari kabilah ini adalah pemimpin dan bangsawan di zamannya. Di antara mereka, Qushay—yang nama aslinya adalah Zaid—memiliki keistimewaan yang luar biasa. Beliau adalah orang pertama dari Quraisy yang diberi tanggung jawab atas Ka'bah, menjadi penjaga dan pengurusnya. Qushay memegang kunci Ka'bah dan berwenang membuka dan menutupnya sesuai keinginannya. Beliau juga yang memindahkan orang Quraisy ke dalam Mekah, karena sebelumnya mereka tinggal di pinggiran dan sekitar Mekah, tersebar di antara kabilah-kabilah lainnya.
 
Selain itu, Qushay adalah pendiri tradisi menyediakan air minum dan makanan bagi para jamaah haji. Sumber air yang disediakan disebut "as-siqayah," berupa air minum yang dibuat dari nabidh (minuman dari rendaman kurma, madu, atau kismis) dan ditempatkan di wadah-wadah besar untuk diminum oleh para jamaah. Adapun "ar-rifadah" adalah makanan yang disediakan bagi mereka selama musim haji. Qushay juga membangun sebuah rumah di sebelah utara Ka'bah yang dikenal sebagai Darun Nadwah, tempat pertemuan dan pusat kegiatan sosial Quraisy. Di rumah inilah diadakan pernikahan dan keputusan-keputusan penting, serta Qushay memegang panji komando, yang artinya, tidak ada bendera perang yang dikibarkan kecuali atas perintahnya. Beliau dikenal sebagai orang yang dermawan, bijaksana, dan memiliki pengaruh besar di tengah kaumnya.
 
Keluarganya:
 
Keluarga Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dikenal sebagai keluarga Hasyimiyah, yang dinisbahkan kepada kakek beliau, Hasyim.
 
Hasyim, yang merupakan kakek Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, mewarisi tugas mulia dari Qushay, yaitu menyediakan air minum dan makanan bagi para jamaah haji (as-siqayah dan ar-rifadah). Setelah Hasyim, tugas ini dilanjutkan oleh saudaranya, Muthalib, dan kemudian diwariskan kepada keturunan Hasyim hingga masa Islam datang. Hasyim adalah orang yang paling terhormat pada zamannya. Beliau mendapat julukan "Hasyim" karena kebiasaannya menghancurkan roti dan mencampurkannya dengan daging untuk dijadikan thareed (makanan tradisional), kemudian membagikannya kepada orang-orang. Nama asli beliau adalah Amr.
 
Hasyim juga dikenal sebagai orang yang menetapkan dua perjalanan perdagangan utama bagi Quraisy, yaitu perjalanan musim dingin ke Yaman dan perjalanan musim panas ke Syam. Karena perannya yang besar, ia dikenal dengan sebutan "Sayyidul Batha" (Pemimpin Lembah Mekah).
 
Dalam kisah hidupnya, Hasyim pernah singgah di Yatsrib (sekarang Madinah) dalam perjalanan dagangnya ke Syam. Di sana, ia menikah dengan Salma binti Amr dari Bani Adi bin Najjar dan tinggal bersamanya untuk beberapa waktu. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanannya ke Syam, dan Salma saat itu tengah mengandung. Hasyim wafat di Gaza, Palestina, sementara Salma melahirkan seorang putra di Madinah yang diberi nama Syaibah, karena terdapat uban di kepalanya sejak lahir. Anak ini dibesarkan di Madinah bersama keluarga ibunya, hingga pada usia tujuh atau delapan tahun, paman dari pihak ayahnya, Muthalib, mengetahui keberadaannya dan membawanya ke Mekah. Ketika orang-orang melihatnya, mereka mengira Syaibah adalah budak Muthalib, sehingga ia dikenal dengan sebutan "Abdul Muthalib" (budaknya Muthalib).
 
Abdul Muthalib tumbuh menjadi pria yang paling tampan, berwibawa, dan paling dihormati di zamannya. Ia menjadi pemimpin Quraisy dan pemegang kendali kafilah dagang Mekah. Abdul Muthalib dikenal sebagai orang yang sangat dermawan dan murah hati, sehingga diberi julukan "Al-Fayyadh" karena kedermawanannya yang melimpah.
 
Beliau selalu menyisihkan makanan dari meja makannya untuk diberikan kepada fakir miskin, hewan liar, dan burung-burung. Karena itu, beliau dijuluki "Pemberi Makan bagi Manusia, Hewan Liar, dan Burung-Burung di Puncak Gunung."
 
Salah satu kehormatan besar yang diraih Abdul Muthalib adalah menggali kembali sumur Zamzam. Sumur ini pernah tertutup dan terlupakan sejak kabilah Jurhum meninggalkan Mekah. Abdul Muthalib diperintahkan melalui mimpi untuk menggali sumur ini, dan lokasi sumur tersebut juga dijelaskan dalam mimpi tersebut.
 
Di masa kepemimpinan Abdul Muthalib, terjadi peristiwa besar yang dikenal sebagai Peristiwa Gajah. Abrahah Al-Asyram, seorang penguasa dari Yaman, datang dengan enam puluh ribu tentara dari Habsyah, membawa beberapa ekor gajah, dengan niat untuk menghancurkan Ka'bah. Namun, saat mereka mencapai lembah Muhassir antara Muzdalifah dan Mina, dan bersiap untuk menyerang Mekah, Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengirimkan burung-burung Ababil yang melempari mereka dengan batu dari tanah yang dibakar, sehingga mereka hancur seperti daun-daun yang dimakan ulat. Peristiwa ini terjadi kurang dari dua bulan sebelum kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
 
Abdullah, Ayah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam
 
Ayah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, Abdullah, adalah putra Abdul Muthalib yang paling tampan, paling suci, dan paling dicintai olehnya. Abdullah juga dikenal sebagai "ad-dzabih" (yang disembelih), karena peristiwa penting dalam hidupnya. Ketika Abdul Muthalib berhasil menggali kembali sumur Zamzam, terjadi perselisihan dengan Quraisy. Abdul Muthalib bernazar bahwa jika Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberinya sepuluh anak laki-laki yang dapat membantunya, dia akan menyembelih salah satu dari mereka sebagai tanda syukur. Setelah doanya terkabul dan memiliki sepuluh anak laki-laki, dia mengundi di antara mereka, dan undian jatuh pada Abdullah.
 
Abdul Muthalib membawa Abdullah ke Ka'bah untuk disembelih, namun dihalangi oleh Quraisy, terutama saudara-saudara dan paman-pamannya. Akhirnya, Abdullah ditebus dengan seratus ekor unta. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam disebut sebagai "putra dari dua yang disembelih," yaitu Ismail 'Alaihissalam dan Abdullah, yang keduanya telah diselamatkan; Ismail dengan seekor domba, dan Abdullah dengan seratus ekor unta.
 
Pernikahan Abdullah dan Aminah
 
Abdul Muthalib memilihkan seorang istri yang mulia bagi putranya, Abdullah. Pilihan jatuh pada Aminah binti Wahb, yang dikenal sebagai wanita paling terhormat dan memiliki kedudukan tinggi di kalangan Quraisy. Ayahnya, Wahb, adalah pemimpin Bani Zuhrah yang terkenal dengan nasab yang mulia dan kehormatannya. Setelah lamaran diterima, Abdullah menikahi Aminah di Mekah, dan tidak lama setelah itu, Aminah mengandung Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
 
Setelah pernikahan, Abdul Muthalib mengirim Abdullah untuk berdagang ke Madinah atau Syam (Suriah). Namun, dalam perjalanan pulang dari Syam, Abdullah jatuh sakit dan meninggal di Madinah. Ia dimakamkan di rumah An-Nabighah Adz-Dzubyani, dan hal ini terjadi sebelum kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
 
Kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam
 
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dilahirkan di sebuah tempat bernama Syi‘b Bani Hasyim di Mekah, pada pagi hari Senin, tanggal 9—ada juga yang mengatakan tanggal 12—Rabiul Awal pada tahun Gajah. Tanggal 9 dianggap lebih akurat, sedangkan tanggal 12 lebih terkenal. Kelahiran ini bertepatan dengan 22 April 571 Masehi.
 
Yang membantu persalinan beliau adalah Asy-Syifa' binti 'Amr, ibu dari sahabat Abdurrahman bin 'Auf Radhiyallahu Anhu. Ketika Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam lahir, keluar cahaya dari rahim ibunya yang menerangi istana-istana di Syam. Aminah segera mengirimkan kabar gembira kepada Abdul Muthalib tentang kelahiran cucunya.
 
Abdul Muthalib datang dengan penuh kebahagiaan, menggendong cucunya, dan membawanya ke Ka'bah. Di sana, ia bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, berdoa, dan menamai cucunya "Muhammad," dengan harapan agar ia menjadi orang yang terpuji. Pada hari ketujuh, Abdul Muthalib mengadakan aqiqah untuknya, mengkhitan, dan mengundang orang-orang untuk makan, sebagaimana kebiasaan orang Arab pada masa itu.
 
Masa Asuhan
 
Pengasuh pertama Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam adalah Ummu Aiman, yang bernama asli Barakah, seorang wanita Habsyah yang merupakan pembantu setia ayahnya, Abdullah. Ummu Aiman tetap hidup hingga masa Islam, bahkan ikut berhijrah, dan beliau wafat lima atau enam bulan setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam wafat.
 
 
Masa Penyusuan
 
Setelah dilahirkan, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pertama kali disusui oleh ibunya, kemudian oleh Tsuwaibah, seorang budak wanita milik Abu Lahab, dengan susu dari anaknya yang bernama Masruh. Sebelumnya, Tsuwaibah juga telah menyusui Hamzah bin Abdul Muthalib dan setelah menyusui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, ia juga menyusui Abu Salamah bin Abdul Asad Al-Makhzumi. Dengan demikian, mereka semua menjadi saudara sepersusuan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
 
Abu Lahab membebaskan Tsuwaibah sebagai tanda kegembiraannya atas kelahiran Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Namun, kelak Abu Lahab menjadi salah satu musuh terbesar Nabi ketika beliau mulai mendakwahkan Islam.
 
Di Bani Sa'd
 
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab pada masa itu untuk mencari ibu susu bagi bayi-bayi mereka di pedalaman, jauh dari kota-kota besar. Hal ini dilakukan untuk melindungi bayi dari penyakit-penyakit yang umum di kota dan juga agar mereka tumbuh dengan fisik yang kuat serta menguasai bahasa Arab yang murni sejak kecil.
 
Atas kehendak Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sekelompok wanita dari Bani Sa'd bin Bakr bin Hawazin datang ke Mekah untuk mencari bayi-bayi yang akan mereka susui. Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam ditawarkan kepada mereka, mereka semua menolak karena mengetahui beliau adalah seorang yatim. Salah satu wanita dari kelompok ini adalah Halimah binti Abu Dhu'aib, yang juga tidak menemukan bayi lain untuk disusui. Akhirnya, Halimah mengambil Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai anak susuan, dan beruntunglah ia karena mendapatkan berkah yang diidamkan oleh orang lain.
 
Nama ayah Halimah adalah Abdullah bin Harits, dan suaminya bernama Harits bin Abdul 'Uzza, keduanya berasal dari Bani Sa'd bin Bakr bin Hawazin. Anak-anak Harits bin Abdul 'Uzza, yang menjadi saudara sepersusuan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, adalah Abdullah, Unaisah, dan Judhamah, yang lebih dikenal dengan julukan Asy-Syaima’. Asy-Syaima’ juga turut mengasuh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pada masa kecilnya.
 
Berkah di Rumah Penyusuan
 
Keberkahan melimpah di rumah Halimah dan keluarganya selama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berada di sana. Salah satu kisah yang menggambarkan keberkahan ini adalah ketika Halimah datang ke Mekah. Saat itu, kondisi sedang dalam masa kekeringan dan kelaparan. Halimah membawa seekor keledai yang paling lambat jalannya karena lemah dan kurus. Ia juga memiliki unta yang tidak mengeluarkan setetes susu pun. Selain itu, anak kecilnya sering menangis sepanjang malam karena kelaparan, membuatnya dan suaminya tidak bisa tidur.
 
Namun, setelah Halimah mengambil Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan meletakkannya di pangkuannya, seketika itu juga payudaranya dipenuhi dengan susu yang cukup untuk diminum oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam hingga kenyang, dan anak Halimah pun minum hingga puas dan akhirnya bisa tidur nyenyak.
 
Suami Halimah kemudian pergi ke unta mereka dan mendapati bahwa unta tersebut kini penuh dengan susu. Ia memerah susu tersebut hingga cukup untuk mengenyangkan mereka berdua. Malam itu, mereka tidur dengan damai dan penuh kenyamanan.
 
Ketika Halimah dan suaminya kembali ke Badiyah Bani Sa'd, Halimah menaiki keledai yang kini menjadi sangat cepat, bahkan mampu mendahului rombongan lainnya. Tak ada keledai lain yang bisa menyusulnya.
 
Sesampainya di daerah Bani Sa'd yang tandus, kambing-kambing mereka mulai kembali ke rumah dalam keadaan kenyang dengan perut penuh dan dipenuhi susu, sementara kambing milik orang lain tetap kurus dan tak menghasilkan susu. Halimah dan suaminya pun terus memerah susu dan meminumnya, sementara tak ada orang lain yang bisa mendapatkan setetes susu pun dari ternaknya.
 
Keluarga Halimah terus merasakan keberkahan dan kelimpahan rezeki dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala selama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tinggal bersama mereka. Setelah dua tahun berlalu, Halimah menyapih Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam yang telah tumbuh kuat dan sehat selama periode penyusuannya.
 
Masa Tinggal Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam di Bani Sa'd Setelah Penyusuan
 
Setelah masa penyusuan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam selesai, Halimah sering membawa beliau kembali ke keluarganya di Mekah setiap enam bulan sekali. Setelah dua tahun berlalu dan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam disapih, Halimah mengembalikan beliau kepada ibunya, Aminah. Namun, karena melihat keberkahan dan kebaikan yang hadir bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, Halimah sangat ingin agar beliau tetap tinggal bersamanya. Ia memohon kepada ibu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam agar memperbolehkannya menjaga beliau lebih lama lagi, dengan alasan kekhawatiran akan wabah penyakit yang ada di Mekah. Aminah pun setuju, dan Halimah membawa kembali Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam ke rumahnya di Bani Sa'd dengan penuh kegembiraan.
 
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tinggal bersama Halimah selama sekitar dua tahun setelah masa penyusuan, hingga suatu peristiwa aneh yang menyebabkan ketakutan besar pada Halimah dan suaminya. Karena peristiwa tersebut, mereka memutuskan untuk mengembalikan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kepada ibunya.
 
Peristiwa Pembelahan Dada
 
Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu meriwayatkan,
 
إن رسول الله له أتاه جبريل وهو يلعب مع الغلمان فأخذه فصرعه فشق عن قلبه. فاستخرج القلب، فاستخرج منه علقة، فقال: هذا حظ الشيطان منك. ثم غسله في طست من ذهب بماء زمزم، ثم لأمه - أي ضمه وجمعه - ثم أعاده في مكانه.
 
"bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sedang bermain dengan anak-anak lain ketika malaikat Jibril datang kepadanya. Jibril menangkap dan membaringkan beliau, lalu membelah dada beliau dan mengeluarkan hati beliau. Dari hati tersebut, Jibril mengeluarkan segumpal darah dan berkata, 'Ini adalah bagian setan yang ada padamu.' Kemudian, Jibril mencuci hati beliau dalam sebuah bejana emas yang diisi dengan air Zamzam, lalu mengembalikan hati tersebut ke tempatnya semula."
 
Anak-anak yang melihat kejadian ini segera berlari ke pengasuh Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam (yaitu Halimah) dan berkata,
 
إن محمداً قد قتل
 
"Muhammad telah dibunuh!"
 
Namun, ketika mereka menemui Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, beliau masih hidup, tetapi wajahnya tampak pucat karena pengalaman tersebut.
 
Anas Radhiyallahu Anhu juga menambahkan,
 
وقد كنت أرى أثر ذلك المخيط في صدره
 
"Aku masih bisa melihat bekas jahitan pada dada beliau."
 
Kembali kepada Ibu yang Penuh Kasih
 
Setelah peristiwa pembelahan dada, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam kembali ke Mekah dan tinggal bersama ibunya serta keluarganya selama sekitar dua tahun. Kemudian, ibunya, Aminah, membawanya dalam perjalanan ke Madinah untuk mengunjungi makam ayahnya dan keluarga kakeknya dari pihak ibu, Bani Adi bin Najjar. Dalam perjalanan itu, mereka ditemani oleh Abdul Muthalib, kakeknya, serta pembantunya, Ummu Aiman. Mereka tinggal di Madinah selama satu bulan sebelum kembali ke Mekah. Namun, dalam perjalanan pulang, Aminah jatuh sakit, dan kondisinya semakin parah hingga akhirnya wafat di Al-Abwa', sebuah tempat antara Mekah dan Madinah, dan dimakamkan di sana.
 
Kembali kepada Kakek yang Penuh Kasih Sayang
 
Setelah wafatnya Aminah, Abdul Muthalib membawa cucunya kembali ke Mekah. Abdul Muthalib merasakan duka yang mendalam atas kehilangan ini dan menunjukkan kasih sayang yang luar biasa kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, melebihi kasih sayangnya kepada anak-anaknya sendiri. Beliau sangat memuliakan cucunya, sering mendahulukannya di atas yang lain, dan memberi tempat khusus kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, termasuk duduk di atas tikar yang hanya diperuntukkan bagi Abdul Muthalib. Abdul Muthalib sering mengusap punggung Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan merasa bahagia melihat segala tingkah lakunya. Beliau yakin bahwa cucunya ini akan memiliki peran besar di masa depan. Namun, sayangnya, Abdul Muthalib wafat dua tahun kemudian, ketika Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam berusia delapan tahun, dua bulan, dan sepuluh hari.
 
Dalam Asuhan Paman yang Penuh Kasih
 
Setelah wafatnya Abdul Muthalib, pengasuhan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dilanjutkan oleh pamannya, Abu Thalib, yang merupakan saudara kandung ayahnya. Abu Thalib merawat beliau dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Meskipun Abu Thalib bukan orang yang kaya, Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberkahi rezekinya, sehingga makanan yang seharusnya cukup untuk satu orang menjadi cukup untuk seluruh keluarganya. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sendiri dikenal sebagai sosok yang penuh dengan kepuasan dan kesabaran, menerima apa pun yang telah ditentukan oleh Allah untuknya.
 
Perjalanan ke Syam dan Pertemuan dengan Pendeta Buhaira
 
Ketika Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam berusia dua belas tahun—ada yang mengatakan dua belas tahun, dua bulan, dan sepuluh hari—pamannya, Abu Thalib, berencana melakukan perjalanan dagang ke Syam bersama kafilah Quraisy. Abu Thalib merasa berat untuk meninggalkan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, sehingga ia memutuskan untuk membawanya serta.
 
Ketika kafilah tersebut tiba di dekat kota Busrā di perbatasan Syam, seorang pendeta Nasrani yang terkenal bernama Buhaira keluar menemui mereka. Buhaira berjalan di antara anggota kafilah hingga ia mendekati Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, lalu ia memegang tangan beliau dan berkata,
 
هذا سيد العالمين، هذا رسول رب العالمين، هذا يبعثه الله رحمة للعالمين
 
"Ini adalah pemimpin seluruh dunia, ini adalah utusan Tuhan semesta alam, ini adalah orang yang akan diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam."
 
Orang-orang dalam kafilah bertanya, "Bagaimana engkau mengetahui hal itu?"
 
Buhaira menjawab,
 
إنكم حين أشرفتم من العقبة لم يبق حجر ولا شجر إلا خر ساجداً، ولا يسجدان إلا لنبي، وإني أعرفه بخاتم النبوة أسفل من غضروف كتفه مثل التفاحة، وإنا نجده في كتبنا
 
"Ketika kalian mendekati tempat ini dari balik bukit, tidak ada satu batu atau pohon pun yang tidak bersujud. Mereka hanya bersujud kepada seorang nabi. Aku mengenalinya melalui tanda kenabian yang terletak di bawah tulang rawan bahunya, sebesar buah apel. Kami menemukan ciri-cirinya dalam kitab kami."
 
Buhaira kemudian menghormati kafilah tersebut dengan menjamu mereka dan meminta Abu Thalib agar tidak membawa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam lebih jauh ke Syam karena khawatir akan keselamatan beliau dari ancaman orang-orang Yahudi dan Romawi. Akhirnya, Abu Thalib memutuskan untuk mengembalikan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam ke Mekah.
 
Perang Fijar
 
Pada usia dua puluh tahun, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam menyaksikan pecahnya Perang Fijar di pasar Ukaz. Perang ini melibatkan suku Quraisy dan Kinanah di satu pihak, melawan suku Qais Ailan di pihak lain. Pertempuran berlangsung sengit, dengan banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya, mereka sepakat untuk menghitung jumlah korban di kedua pihak, dan pihak yang memiliki lebih banyak korban berhak menerima diat (ganti rugi) untuk kelebihan jumlah korbannya. Setelah itu, perang pun dihentikan dan permusuhan di antara mereka diredakan.
 
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam ikut serta dalam perang ini dengan membantu paman-pamannya menyiapkan anak panah untuk digunakan dalam pertempuran.
 
Perang ini disebut Perang Fijar karena terjadi pelanggaran terhadap kesucian Tanah Haram Mekah dan bulan-bulan suci. Ada empat Perang Fijar, yang masing-masing terjadi di tahun yang berbeda. Tiga perang pertama berakhir setelah perselisihan kecil tanpa pertempuran besar, sedangkan perang keempat inilah yang benar-benar melibatkan pertempuran.
 
Perjanjian Hilful Fudul
 
Pada bulan Dzulqa'dah setelah Perang Fijar, terjadi perjanjian yang dikenal sebagai Hilful Fudul. Perjanjian ini melibatkan lima kabilah Quraisy, yaitu Bani Hasyim, Bani Muthalib, Bani Asad, Bani Zuhrah, dan Bani Taim.
 
Perjanjian ini diawali oleh seorang lelaki dari Zubaid yang datang ke Mekah dengan membawa barang dagangan. Barang tersebut dibeli oleh Al-Ash bin Wa'il As-Sahmi, namun ia menahan pembayaran haknya. Lelaki Zubaid itu meminta bantuan kepada Bani Abduddar, Bani Makhzum, Bani Jumah, Bani Sahm, dan Bani Adi, tetapi tidak ada yang peduli padanya. Lalu, ia naik ke Gunung Abu Qubais dan melantunkan bait-bait puisi yang mengisahkan kezaliman yang dialaminya, serta meminta bantuan.
 
Mendengar hal itu, Zubair bin Abdul Muthalib bergerak dan mengumpulkan orang-orang yang disebutkan di atas di rumah Abdullah bin Jud'an, kepala Bani Taim. Mereka kemudian membuat perjanjian dan bersumpah bahwa mereka tidak akan membiarkan siapa pun di Mekah—baik penduduk asli maupun pendatang—teraniaya tanpa mereka memberikan bantuan hingga haknya dikembalikan. Setelah perjanjian ini, mereka mendatangi Al-Ash bin Wa'il As-Sahmi dan memaksa dia untuk menyerahkan hak lelaki Zubaid tersebut.
 
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam turut hadir dalam perjanjian ini bersama paman-pamannya. Setelah beliau diangkat menjadi rasul, beliau bersabda:
 
لقد شهدت في دار عبدالله بن جدعان حلفاً ما أحب أن لي به حمر النعم، ولو أدعى به في الإسلام لأجبت
 
"Aku pernah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jud'an sebuah perjanjian yang tidak akan aku tukar dengan unta merah sekalipun. Jika aku dipanggil untuk memperjuangkan perjanjian itu di masa Islam, aku pasti akan menjawabnya."
 
Masa Bekerja
 
Sudah diketahui bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam lahir sebagai yatim dan dibesarkan dalam asuhan kakeknya, kemudian pamannya. Beliau tidak mewarisi apa pun dari ayahnya yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, ketika mencapai usia yang memungkinkan untuk bekerja, beliau mulai menggembalakan kambing bersama saudara-saudara sepersusuannya di Bani Sa'd. Ketika kembali ke Mekah, beliau menggembalakan kambing milik penduduk Mekah dengan upah berupa beberapa qirath (bagian kecil dari dinar, kira-kira setengah atau sepertiga dari sepuluh dinar).
 
Gembala kambing adalah salah satu tradisi para nabi di awal kehidupan mereka. Suatu ketika, setelah diangkat sebagai nabi, beliau bersabda:
 
ما من نبي إلا ورعاها
 
"Tidak ada seorang nabi pun kecuali dia pernah menggembalakan kambing."
 
Ketika Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam beranjak dewasa, beliau juga terlibat dalam perdagangan. Diriwayatkan bahwa beliau pernah berdagang bersama As-Saib bin Abi Saib, yang menganggap Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai rekan bisnis yang sangat baik, tidak pernah menentang atau berdebat.
 
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dikenal dalam setiap interaksi bisnisnya sebagai orang yang sangat jujur, amanah, dan menjaga kehormatan diri. Sifat-sifat ini membuat beliau dijuluki "Al-Amin" (yang terpercaya).
 
Perjalanan ke Syam dan Perdagangan dengan Harta Khadijah
 
Khadijah binti Khuwailid Radhiyallahu Anha adalah salah satu wanita Quraisy yang paling mulia dalam nasab dan kekayaan. Dia biasa memberikan hartanya kepada para pedagang untuk dikelola dengan sistem bagi hasil. Ketika dia mendengar tentang kejujuran dan kepercayaan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, dia menawarkan harta miliknya kepada beliau untuk diperdagangkan ke Syam, dengan memberikan upah yang lebih baik dibandingkan pedagang lainnya.
 
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam pun berangkat ke Syam bersama budak Khadijah yang bernama Maisarah. Di sana, beliau menjual dan membeli barang dagangan serta mendapatkan keuntungan yang besar. Harta Khadijah juga diberkahi dengan keberuntungan yang lebih banyak dari sebelumnya. Setelah menyelesaikan urusan perdagangan, beliau kembali ke Mekah dan mengembalikan amanah tersebut dengan penuh tanggung jawab.
 
Pernikahan dengan Khadijah
 
Setelah melihat amanah dan keberkahan yang luar biasa dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, Khadijah semakin terpesona. Maisarah juga menceritakan kepadanya tentang sifat-sifat mulia Nabi dan beberapa kejadian luar biasa, seperti adanya dua malaikat yang menaungi beliau di bawah terik matahari. Khadijah merasa bahwa inilah pria yang selama ini dia cari.
 
Khadijah kemudian mengirim salah seorang sahabatnya untuk menyampaikan keinginannya menikah dengan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Beliau menerima tawaran itu dengan senang hati dan segera berbicara dengan paman-pamannya. Mereka melamar Khadijah kepada pamannya, Amr bin Asad, dan Khadijah pun dinikahkan dengan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam di hadapan Bani Hasyim dan para pemuka Quraisy dengan mahar sebesar dua puluh ekor unta, meskipun ada juga yang mengatakan enam ekor unta. Abu Thalib, paman Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, menyampaikan khutbah nikah, memuji Allah, menyebutkan kemuliaan nasab, keutamaan Nabi, dan menyampaikan akad serta mahar.
 
Pernikahan ini terjadi dua bulan lebih setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kembali dari Syam, saat beliau berusia dua puluh lima tahun. Sementara itu, usia Khadijah ada yang mengatakan empat puluh tahun, ada pula yang mengatakan dua puluh delapan tahun, dan ada pendapat lain tentang usianya. Sebelumnya, Khadijah pernah menikah dengan Atiq bin A’idh Al-Makhzumi, yang meninggal dunia, kemudian menikah dengan Abu Halah At-Tamimi, yang juga meninggal setelah meninggalkan seorang putra. Meskipun banyak pemuka Quraisy yang berusaha menikahinya, Khadijah menolak mereka semua dan hanya menerima Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai suaminya. Pernikahan ini membawa kebahagiaan yang tiada bandingnya, yang membuat iri orang-orang di masa lalu dan yang akan datang.
 
Khadijah adalah istri pertama Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, dan beliau tidak menikah dengan wanita lain selama Khadijah masih hidup. Semua anak Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, kecuali Ibrahim, lahir dari Khadijah.
 
Anak-anak Nabi dari Khadijah
 
Anak-anak Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dari Khadijah adalah Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fatimah, dan Abdullah. Ada beberapa pendapat berbeda mengenai jumlah dan urutan mereka. Semua putra Nabi meninggal dunia saat masih kecil, sementara semua putri beliau hidup hingga masa kenabian, masuk Islam, berhijrah, dan kemudian wafat sebelum Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, kecuali Fatimah Radhiyallahu Anha yang hidup enam bulan setelah wafatnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
 
Pembangunan Kembali Ka'bah dan Kisah Penempatan Hajar Aswad
 
Pada usia tiga puluh lima tahun, terjadi banjir besar yang merusak dinding Ka'bah. Bangunan tersebut juga sudah lemah akibat kebakaran sebelumnya, sehingga suku Quraisy memutuskan untuk membangun kembali Ka'bah. Mereka sepakat untuk hanya menggunakan harta yang halal dalam pembiayaan, sehingga tidak menerima mahar dari pelacuran, hasil riba, atau harta yang didapatkan dengan cara yang zalim. Mereka takut akan hukuman Allah karena merobohkan Ka'bah, namun Al-Walid bin Al-Mughirah berkata,
 
إن الله لا يهلك المصلحين
 
"Sesungguhnya Allah tidak akan membinasakan orang-orang yang memperbaiki."
 
Lalu, ia memulai penghancuran dan diikuti oleh yang lainnya hingga mencapai fondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim Alaihissalam.
 
Mereka pun mulai membangun kembali Ka'bah, dengan setiap kabilah diberikan bagian tertentu dari bangunan tersebut. Para pemuka Quraisy sendiri mengangkat batu-batu di atas pundak mereka, dan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam serta pamannya, Abbas, turut serta mengangkat batu. Pembangunan ini dilakukan oleh seorang arsitek Romawi bernama Baqum. Karena keterbatasan dana, mereka tidak bisa menyelesaikan pembangunan Ka'bah sesuai fondasi Ibrahim, sehingga mereka mengurangi sekitar enam hasta di bagian utara dan membangun dinding pendek sebagai tanda bahwa bagian itu tetap termasuk Ka'bah. Bagian ini dikenal dengan sebutan Hijr Ismail atau Al-Hatim.
 
Ketika pembangunan mencapai bagian Hajar Aswad, setiap pemimpin kabilah ingin mendapatkan kehormatan untuk meletakkannya di tempat semula, sehingga terjadi perselisihan yang berlangsung selama empat atau lima hari, hampir berubah menjadi perang besar di dalam Masjidil Haram. Namun, Abu Umayyah bin Al-Mughirah Al-Makhzumi, yang merupakan orang tertua di antara mereka, menyarankan agar mereka menyerahkan keputusan kepada orang pertama yang masuk ke dalam masjid. Semua setuju dengan usul tersebut.
 
Atas kehendak Allah, orang pertama yang masuk adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Ketika mereka melihat beliau, mereka berseru,
 
هذا الأمين رضيناه هذا محمد
 
"Ini adalah Al-Amin, kami ridha kepadanya, ini adalah Muhammad."
 
Setelah diberitahu tentang perselisihan tersebut, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengambil selembar kain, meletakkan Hajar Aswad di tengahnya, dan meminta setiap pemimpin kabilah memegang ujung kain tersebut dan mengangkatnya bersama-sama. Ketika Hajar Aswad telah mencapai tempatnya, beliau sendiri yang meletakkannya di posisi semula. Solusi ini membuat semua pihak puas, dan mereka pun sepakat dengan keputusan tersebut.
 
Hajar Aswad sekarang terletak satu setengah meter di atas tanah tempat thawaf, sementara pintu Ka'bah dinaikkan sekitar dua meter sehingga hanya bisa dimasuki oleh orang yang diizinkan. Dinding Ka'bah dinaikkan menjadi delapan belas hasta, dua kali lipat dari sebelumnya. Di dalam Ka'bah, mereka memasang enam tiang dalam dua baris dan menutupinya dengan atap setinggi lima belas hasta, yang sebelumnya tidak ada atap dan tiang.
 
Kepribadian Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam Sebelum Kenabian
 
Sejak masa kecilnya, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam tumbuh dengan akal yang sehat, kekuatan fisik yang prima, dan moralitas yang tinggi. Beliau dibesarkan, tumbuh, dan mencapai kedewasaan dengan mengumpulkan semua sifat-sifat terpuji dan karakter mulia. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam adalah contoh sempurna dari pemikiran yang tepat, pandangan yang bijaksana, serta memiliki keutamaan akhlak dan sifat-sifat yang luhur. Beliau dikenal dengan kejujuran, amanah, keberanian, keadilan, kebijaksanaan, kesucian, kerendahan hati, kesabaran, rasa syukur, malu, kesetiaan, dan nasihat yang baik.
 
Pamannya, Abu Thalib, pernah menggambarkan beliau dengan berkata,
 
وأبيض يستسقى الغمام بوجهه ثمال اليتامى عصمة للأرامل
 
"Dia yang wajahnya memohonkan hujan dari langit, pelindung bagi anak yatim, dan penjaga bagi para janda."
 
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sangat peduli dengan hubungan kekerabatan, memikul beban yang berat bagi orang lain, membantu mereka yang kurang mampu hingga mereka mendapatkan penghidupan, menjamu tamu, dan menolong orang-orang yang tertimpa kesulitan.
 
Allah Subhanahu Wa Ta'ala menjaga dan melindungi beliau, serta menjauhkan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dari segala keburukan yang ada di tengah kaumnya, seperti takhayul dan kejahatan. Beliau tidak pernah menghadiri perayaan berhala atau upacara kemusyrikan, serta tidak memakan hewan yang disembelih untuk selain Allah. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam juga tidak tahan mendengar sumpah atas nama Latta dan Uzza, apalagi menyentuh atau mendekati berhala.
 
Beliau adalah orang yang paling jauh dari minuman keras dan hiburan yang tidak bermanfaat. Bahkan, beliau tidak pernah menghadiri majelis-majelis hiburan dan pertemuan malam yang menjadi tempat berkumpulnya anak muda dan tempat bertemu para sahabat di Mekah.

Abdurrahman Al-Amiry

Kamis, 08/08/24 di Ma'had Imam Al-Albani

Abdurrahman Al-Amiry adalah seorang penuntut ilmu dan pengkaji islam, serta mudir atau pimpinan ponpes Imam Al-Albani, Prabumulih, Sumsel. Keseharian beliau adalah mengajar dan berdakwah di jalan Allah. Beliau menghabiskan waktu paginya dengan mengajar para santri dan menghabiskan waktu malam dengan berdakwah lepas di berbagai masjid..

0 komentar:

Posting Komentar

Contact Me

Adress

Ma'had Imam Al-Albani, Prabumulih, Sumsel

Phone number

+62 89520172737 (Admin 'Lia')

Website

www.abdurrahmanalamiry.com